Deklarasi Djoeanda, Sejarah Perjuangan Bangsa yang Hampir
Terlupakan
Oleh : Dr. Kasman eM.Ka
Direktur Pusat Kajian dan
Pengembangan Kemaritiman Nasional
(PUSKANAL), Jakarta
“Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang
menghubungkan pulau-pulau atau sebagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara
Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian
yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan
demikian merupakan bagian daripada perairan perairan nasional yang berada
dibawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia.”
Demikian isi Deklarasi Djoeanda, Deklarasi yang mungkin masih asing ditelinga sebagian besar rakyat Indonesia. Deklarasi ini menyatakan kepada dunia internasional bahwa laut Indonesia meliputi laut sekitar, di antara dan di dalam Kepulauan Indonesia. Seluruhnya menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Deklarasi Djoeanda diumumkan oleh pemerintah Negara Republik Indonesia yang dibacakan oleh PM Ir. R. Djoeanda Kartawidjaja dalam sidang Dewan Menteri pada tanggal 13 Desember 1957. Peristiwa inilah yang pada masa Presiden Megawati Soekarno Putri ditetapkan sebagai Hari Nusantara melalui Keppres No. 126 tahun 2001 setelah diperingati 2 tahun sebelumnya (1999) dimasa Presiden Abdurrahman Wahid.
Deklarasi Djoeanda lahir atas pandangan kritis Ir Djoeanda yang melihat wilayah NKRI yang saat itu masih mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939) tidak menguntungkan dalam perspektif geo-politik, geo-ekonomi dan keamanan Nasional. Dalam peraturan zaman Hindia Belanda itu, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya, dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Karena itu, kapal asing bisa dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Dalam konteks ini Ir. Djoeanda memilih prinsip-prinsip negara kepulauan sehingga laut-laut antar pulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia, dan bukan kawasan bebas.
Perjuangan bangsa Indonesia untuk mendapatkan pengakuan sebagai Negara Kepulauan dari dunia internasional tidaklah mudah, selain karena mendapat tantangan dari negara kontinental seperti Amerika Serikat dan Australia, konsepsi Negara Kepulauan saat itu merupakan wacana baru yang digulirkan dalam perhelatan internasional. Deklarasi Djoeanda baru dapat diterima dunia Internasional 25 tahun pasca Deklarasi diumumkan yakni melalui Konvensi Hukum Laut PBB ke-III tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/ UNCLOS 1982) yang ditandatangani oleh 117 negara peserta termasuk Indonesia di Montego Bay, Jamaica, 10 Desember 1982. Tiga tahun kemudian, deklarasi tersebut dipertegas kembali oleh pemerintah Republik Indonesia dengan meratifikasi UNCLOS 1982 dengan UU Nomor 17 Tahun 1985.
Prinsip Negara kepulauan diakomodir dalam Bab IV pasal 46(a) UNCLOS 1982, dimana Negara kepulauan (Archipelagic States) didefinisikan sebagai “a State constituted wholly by one or more archipelagos and may include other islands”. Hal ini berarti wilayah laut Indonesia tidak hanya meliputi 3 mil dari garis pantai, melainkan mencakup seluruh wilayah laut yang memisahkan pulau-pulau dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, sejak saat itu luas wilayah Indonesia pun bertambah 2,5 kali lipat dari 2.027.087 kilometer persegi, menjadi 5.193.250 kilometer persegi, dengan pengecualian Irian Jaya yang waktu itu belum diakui secara internasional sebagai wilayah Indonesia.
Sejarah di atas menunjukkan betapa Deklarasi Djoeanda telah memberikan kontribusi yang tak ternilai harganya dalam memperjuangkan kesatuan, persatuan, pertahanan dan kedaulatan Indonesia. Dengan demikian wajar jika kemudian peristiwa tersebut diperingati sebagai salah satu hari Nasional, meskipun ironis karena dibutuhkan waktu empat puluh empat tahun pasca deklarasi tersebut bagi bangsa ini untuk menegaskan betapa pentingnya peristiwa bersejarah tersebut. Dalam konteks ini istilah Bang Haji mungkin tidak berlebihan digunakan “terlaaalu!”.
Aset kewilayahan NKRI pasca UNCLOS 1982
Setelah melalui perjalanan panjang akhirnya UNCLOS 1982 resmi berlaku sejak 16 November 1994 setelah diratifikasi oleh 60 negara. Selain menghasilkan rejim-rejim hukum laut yang baru seperti asas Negara Kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif dan penambangan di Dasar Laut Internasional, UNCLOS juga memuat pengembangan hukum laut yang sudah ada, misalnya ketentuan lebar laut teritorial dan kriteria landas kontinental. Keduanya sangat menguntungkan Indonesia dalam perspektif kewilayahan.
Diakomodirnya asas Negara Kepulauan dalam UNCLOS 1982 misalnya, telah menambah luas wilayah perairan Indonesia dari 100.000 km2 menurut Ordonansi Hindia Belanda, menjadi 3,1 juta km2. Sementara rejim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) menambah wilayah perairan Indonesia seluas 2,7 juta km2. Sehingga dengan disahkannya konvensi tersebut total wilayah laut yang dapat dimanfaatkan mencapai 5,8 juta km2 meningkat luasnya 58 kali dari luas laut sebelumnya. Sungguh angka yang sangat fantastis bukan!.
Pembangunan Kelautan Nasional
Semangat membangun kelautan pacsa UNCLOS nyaris tidak terdengar sama sekali hingga masa orde baru berakhir. Dalam fase itu kelautan benar-benar diposisikan sebagai sektor pinggiran (pheripheral sector) dalam pembangunan nasional. Barulah pada masa reformasi semangat membangun kelautan mulai digelorakan diantaranya melalui Deklarasi Bunaken yang dicanangkan oleh Presiden B.J. Habibie tanggal 26 September 1998 dan Gerakan Pembangunan (Gerbang) Mina Bahari tanggal 11 Oktober 2003 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri di Teluk Tomini, Gorontalo.
Pada masa ini, cara pandang pemerintah terhadap sektor kelautan dalam konteks pembangunan nasional mulai berubah. Sektor kelautan tidak lagi dipandang sebagai sektor pinggiran melainkan mulai dimasukkan dalam mainstream pembangunan Nasional. Dengan kata lain telah terjadi pergeseran paradigma pembangunan dari dominan darat (land-based socio-economic development) menjadi terintegrasi dengan lautan (ocean-based socio-economic development).
Beberapa kegiatan internasional pun telah digelar untuk menunjukkan semangat membangun kelautan Nasional dan sebagai promosi pada dunia akan potensi kekayaan laut Indonesia. Diantara kegiatan tersebut yang menyita perhatian masyarakat internasional adalah penyelenggaraan World Ocean Conference (WOC) di Manado, 11-14 Mei 2009 yang melahirkan Deklarasi Kelautan Manado (Manado Ocean Declaration) dan Pemecahan Rekor Dunia Selam Massal Agustus 2009.
Semangat ini tentunya perlu mendapat apresiasi, namun benarkah pembangunan kelautan saat ini mengalami kemajuan ataukah semua masih sebatas retorika saja?. Yang jelas sampai saat ini UU Kelautan masih tersendat di DPR setelah digulirkan sejak hampir 8 tahun silam, kontribusi PDB sub sektor perikanan dan kelautan pada PDB Nasional dari 2010 sampai dengan 2011 mengalami penurunan (sumber : Renstra KKP 2010-2014), perubahan Renstra KKP 2010-2014 dari Per.06/Men/2010 (masa Fadel Muhammad) menjadi Per.15/Men/2012 (masa Sharif C. Sutarjo) hanya berubah sampul nyaris tanpa ada perubahan konten. Sungguh prestasi yang memprihatinkan bukan!
Demikian isi Deklarasi Djoeanda, Deklarasi yang mungkin masih asing ditelinga sebagian besar rakyat Indonesia. Deklarasi ini menyatakan kepada dunia internasional bahwa laut Indonesia meliputi laut sekitar, di antara dan di dalam Kepulauan Indonesia. Seluruhnya menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Deklarasi Djoeanda diumumkan oleh pemerintah Negara Republik Indonesia yang dibacakan oleh PM Ir. R. Djoeanda Kartawidjaja dalam sidang Dewan Menteri pada tanggal 13 Desember 1957. Peristiwa inilah yang pada masa Presiden Megawati Soekarno Putri ditetapkan sebagai Hari Nusantara melalui Keppres No. 126 tahun 2001 setelah diperingati 2 tahun sebelumnya (1999) dimasa Presiden Abdurrahman Wahid.
Deklarasi Djoeanda lahir atas pandangan kritis Ir Djoeanda yang melihat wilayah NKRI yang saat itu masih mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939) tidak menguntungkan dalam perspektif geo-politik, geo-ekonomi dan keamanan Nasional. Dalam peraturan zaman Hindia Belanda itu, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya, dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Karena itu, kapal asing bisa dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Dalam konteks ini Ir. Djoeanda memilih prinsip-prinsip negara kepulauan sehingga laut-laut antar pulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia, dan bukan kawasan bebas.
Perjuangan bangsa Indonesia untuk mendapatkan pengakuan sebagai Negara Kepulauan dari dunia internasional tidaklah mudah, selain karena mendapat tantangan dari negara kontinental seperti Amerika Serikat dan Australia, konsepsi Negara Kepulauan saat itu merupakan wacana baru yang digulirkan dalam perhelatan internasional. Deklarasi Djoeanda baru dapat diterima dunia Internasional 25 tahun pasca Deklarasi diumumkan yakni melalui Konvensi Hukum Laut PBB ke-III tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/ UNCLOS 1982) yang ditandatangani oleh 117 negara peserta termasuk Indonesia di Montego Bay, Jamaica, 10 Desember 1982. Tiga tahun kemudian, deklarasi tersebut dipertegas kembali oleh pemerintah Republik Indonesia dengan meratifikasi UNCLOS 1982 dengan UU Nomor 17 Tahun 1985.
Prinsip Negara kepulauan diakomodir dalam Bab IV pasal 46(a) UNCLOS 1982, dimana Negara kepulauan (Archipelagic States) didefinisikan sebagai “a State constituted wholly by one or more archipelagos and may include other islands”. Hal ini berarti wilayah laut Indonesia tidak hanya meliputi 3 mil dari garis pantai, melainkan mencakup seluruh wilayah laut yang memisahkan pulau-pulau dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, sejak saat itu luas wilayah Indonesia pun bertambah 2,5 kali lipat dari 2.027.087 kilometer persegi, menjadi 5.193.250 kilometer persegi, dengan pengecualian Irian Jaya yang waktu itu belum diakui secara internasional sebagai wilayah Indonesia.
Sejarah di atas menunjukkan betapa Deklarasi Djoeanda telah memberikan kontribusi yang tak ternilai harganya dalam memperjuangkan kesatuan, persatuan, pertahanan dan kedaulatan Indonesia. Dengan demikian wajar jika kemudian peristiwa tersebut diperingati sebagai salah satu hari Nasional, meskipun ironis karena dibutuhkan waktu empat puluh empat tahun pasca deklarasi tersebut bagi bangsa ini untuk menegaskan betapa pentingnya peristiwa bersejarah tersebut. Dalam konteks ini istilah Bang Haji mungkin tidak berlebihan digunakan “terlaaalu!”.
Aset kewilayahan NKRI pasca UNCLOS 1982
Setelah melalui perjalanan panjang akhirnya UNCLOS 1982 resmi berlaku sejak 16 November 1994 setelah diratifikasi oleh 60 negara. Selain menghasilkan rejim-rejim hukum laut yang baru seperti asas Negara Kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif dan penambangan di Dasar Laut Internasional, UNCLOS juga memuat pengembangan hukum laut yang sudah ada, misalnya ketentuan lebar laut teritorial dan kriteria landas kontinental. Keduanya sangat menguntungkan Indonesia dalam perspektif kewilayahan.
Diakomodirnya asas Negara Kepulauan dalam UNCLOS 1982 misalnya, telah menambah luas wilayah perairan Indonesia dari 100.000 km2 menurut Ordonansi Hindia Belanda, menjadi 3,1 juta km2. Sementara rejim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) menambah wilayah perairan Indonesia seluas 2,7 juta km2. Sehingga dengan disahkannya konvensi tersebut total wilayah laut yang dapat dimanfaatkan mencapai 5,8 juta km2 meningkat luasnya 58 kali dari luas laut sebelumnya. Sungguh angka yang sangat fantastis bukan!.
Pembangunan Kelautan Nasional
Semangat membangun kelautan pacsa UNCLOS nyaris tidak terdengar sama sekali hingga masa orde baru berakhir. Dalam fase itu kelautan benar-benar diposisikan sebagai sektor pinggiran (pheripheral sector) dalam pembangunan nasional. Barulah pada masa reformasi semangat membangun kelautan mulai digelorakan diantaranya melalui Deklarasi Bunaken yang dicanangkan oleh Presiden B.J. Habibie tanggal 26 September 1998 dan Gerakan Pembangunan (Gerbang) Mina Bahari tanggal 11 Oktober 2003 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri di Teluk Tomini, Gorontalo.
Pada masa ini, cara pandang pemerintah terhadap sektor kelautan dalam konteks pembangunan nasional mulai berubah. Sektor kelautan tidak lagi dipandang sebagai sektor pinggiran melainkan mulai dimasukkan dalam mainstream pembangunan Nasional. Dengan kata lain telah terjadi pergeseran paradigma pembangunan dari dominan darat (land-based socio-economic development) menjadi terintegrasi dengan lautan (ocean-based socio-economic development).
Beberapa kegiatan internasional pun telah digelar untuk menunjukkan semangat membangun kelautan Nasional dan sebagai promosi pada dunia akan potensi kekayaan laut Indonesia. Diantara kegiatan tersebut yang menyita perhatian masyarakat internasional adalah penyelenggaraan World Ocean Conference (WOC) di Manado, 11-14 Mei 2009 yang melahirkan Deklarasi Kelautan Manado (Manado Ocean Declaration) dan Pemecahan Rekor Dunia Selam Massal Agustus 2009.
Semangat ini tentunya perlu mendapat apresiasi, namun benarkah pembangunan kelautan saat ini mengalami kemajuan ataukah semua masih sebatas retorika saja?. Yang jelas sampai saat ini UU Kelautan masih tersendat di DPR setelah digulirkan sejak hampir 8 tahun silam, kontribusi PDB sub sektor perikanan dan kelautan pada PDB Nasional dari 2010 sampai dengan 2011 mengalami penurunan (sumber : Renstra KKP 2010-2014), perubahan Renstra KKP 2010-2014 dari Per.06/Men/2010 (masa Fadel Muhammad) menjadi Per.15/Men/2012 (masa Sharif C. Sutarjo) hanya berubah sampul nyaris tanpa ada perubahan konten. Sungguh prestasi yang memprihatinkan bukan!