Rabu, 12 Desember 2012

Deklarasi Djoeanda 1957 (Republika)


Deklarasi Djoeanda, Sejarah Perjuangan Bangsa yang Hampir Terlupakan
Oleh : Dr. Kasman eM.Ka
Direktur Pusat Kajian dan Pengembangan Kemaritiman Nasional
(PUSKANAL), Jakarta

“Bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau sebagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan perairan nasional yang berada dibawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia.”
       Demikian isi Deklarasi Djoeanda, Deklarasi yang mungkin masih asing ditelinga sebagian besar rakyat Indonesia. Deklarasi ini menyatakan kepada dunia internasional bahwa laut Indonesia meliputi laut sekitar, di antara dan di dalam Kepulauan Indonesia. Seluruhnya menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
       Deklarasi Djoeanda diumumkan oleh pemerintah Negara Republik Indonesia yang dibacakan oleh PM Ir. R. Djoeanda Kartawidjaja  dalam sidang Dewan Menteri pada tanggal 13 Desember 1957. Peristiwa inilah yang pada masa Presiden Megawati Soekarno Putri ditetapkan sebagai Hari Nusantara melalui Keppres No. 126 tahun 2001 setelah diperingati 2 tahun sebelumnya (1999) dimasa Presiden Abdurrahman Wahid.
      Deklarasi Djoeanda lahir atas pandangan kritis Ir Djoeanda yang melihat wilayah NKRI yang saat itu masih mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939) tidak menguntungkan dalam perspektif geo-politik, geo-ekonomi dan keamanan Nasional. Dalam peraturan zaman Hindia Belanda itu, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya, dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Karena itu, kapal asing bisa dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Dalam konteks ini Ir. Djoeanda memilih prinsip-prinsip negara kepulauan sehingga laut-laut antar pulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia, dan bukan kawasan bebas.
     Perjuangan bangsa Indonesia untuk mendapatkan pengakuan sebagai Negara Kepulauan dari dunia internasional tidaklah mudah, selain karena mendapat tantangan dari negara kontinental seperti Amerika Serikat dan Australia, konsepsi Negara Kepulauan saat itu merupakan wacana baru yang digulirkan dalam perhelatan internasional. Deklarasi Djoeanda baru dapat diterima dunia Internasional 25 tahun pasca Deklarasi diumumkan yakni melalui Konvensi Hukum Laut PBB ke-III tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/ UNCLOS 1982) yang ditandatangani oleh 117 negara peserta termasuk Indonesia di Montego Bay, Jamaica, 10 Desember 1982. Tiga tahun kemudian, deklarasi tersebut dipertegas kembali oleh pemerintah Republik Indonesia dengan meratifikasi UNCLOS 1982 dengan UU Nomor 17 Tahun 1985.  
       Prinsip Negara kepulauan diakomodir dalam Bab IV pasal 46(a) UNCLOS 1982, dimana Negara kepulauan (Archipelagic States) didefinisikan sebagai “a State constituted wholly by one or more archipelagos and may include other islands”. Hal ini berarti wilayah laut Indonesia tidak hanya meliputi 3 mil dari garis pantai, melainkan mencakup seluruh wilayah laut yang memisahkan pulau-pulau dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, sejak saat itu luas wilayah Indonesia pun bertambah 2,5 kali lipat dari 2.027.087 kilometer persegi, menjadi 5.193.250 kilometer persegi, dengan pengecualian Irian Jaya yang waktu itu belum diakui secara internasional sebagai wilayah Indonesia.
        Sejarah di atas menunjukkan betapa Deklarasi Djoeanda telah memberikan kontribusi yang tak ternilai harganya dalam memperjuangkan kesatuan, persatuan, pertahanan dan kedaulatan Indonesia. Dengan demikian wajar jika kemudian peristiwa tersebut diperingati sebagai salah satu hari Nasional, meskipun ironis karena dibutuhkan waktu empat puluh empat tahun pasca deklarasi tersebut bagi bangsa ini untuk menegaskan betapa pentingnya peristiwa bersejarah tersebut. Dalam konteks ini istilah Bang Haji mungkin tidak berlebihan digunakan “terlaaalu!”.

Aset kewilayahan NKRI pasca UNCLOS 1982
       Setelah melalui perjalanan panjang akhirnya UNCLOS 1982 resmi berlaku sejak 16 November 1994 setelah diratifikasi oleh 60 negara. Selain menghasilkan rejim-rejim hukum laut yang baru seperti asas Negara Kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif dan penambangan di Dasar Laut Internasional, UNCLOS juga memuat pengembangan hukum laut yang sudah ada, misalnya ketentuan lebar laut teritorial dan kriteria landas kontinental. Keduanya sangat menguntungkan Indonesia dalam perspektif kewilayahan.
       Diakomodirnya asas Negara Kepulauan dalam UNCLOS 1982 misalnya, telah menambah luas wilayah perairan Indonesia dari 100.000 km2 menurut Ordonansi Hindia Belanda, menjadi 3,1 juta km2. Sementara rejim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) menambah wilayah perairan Indonesia seluas 2,7 juta km2. Sehingga dengan disahkannya konvensi tersebut total wilayah laut yang dapat dimanfaatkan mencapai 5,8 juta km2 meningkat luasnya 58 kali dari luas laut sebelumnya. Sungguh angka yang sangat fantastis bukan!.

Pembangunan Kelautan Nasional
      Semangat membangun kelautan pacsa UNCLOS nyaris tidak terdengar sama sekali hingga masa orde baru berakhir. Dalam fase itu kelautan benar-benar diposisikan sebagai sektor pinggiran (pheripheral sector) dalam pembangunan nasional. Barulah pada masa reformasi semangat membangun kelautan mulai digelorakan diantaranya melalui Deklarasi Bunaken yang dicanangkan oleh Presiden B.J. Habibie tanggal 26 September 1998 dan Gerakan Pembangunan (Gerbang) Mina Bahari tanggal 11 Oktober 2003 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri di Teluk Tomini, Gorontalo.
      Pada masa ini, cara pandang pemerintah terhadap sektor kelautan dalam konteks pembangunan nasional mulai berubah. Sektor kelautan tidak lagi dipandang sebagai sektor pinggiran melainkan mulai dimasukkan dalam mainstream pembangunan Nasional. Dengan kata lain telah terjadi pergeseran paradigma pembangunan dari dominan darat (land-based socio-economic development) menjadi terintegrasi dengan lautan (ocean-based socio-economic development).  
     Beberapa kegiatan internasional pun telah digelar untuk menunjukkan semangat membangun kelautan Nasional dan sebagai promosi pada dunia akan potensi kekayaan laut Indonesia. Diantara kegiatan tersebut yang menyita perhatian masyarakat internasional adalah penyelenggaraan World Ocean Conference (WOC) di Manado, 11-14 Mei 2009 yang melahirkan Deklarasi Kelautan Manado (Manado Ocean Declaration) dan Pemecahan Rekor Dunia Selam Massal Agustus 2009.
    Semangat ini tentunya perlu mendapat apresiasi, namun benarkah pembangunan kelautan saat ini mengalami kemajuan ataukah semua masih sebatas retorika saja?. Yang jelas sampai saat ini UU Kelautan masih tersendat di DPR setelah digulirkan sejak hampir 8 tahun silam, kontribusi PDB sub sektor perikanan dan kelautan pada PDB Nasional dari 2010 sampai dengan 2011 mengalami penurunan (sumber : Renstra KKP 2010-2014), perubahan Renstra KKP 2010-2014 dari Per.06/Men/2010 (masa Fadel Muhammad) menjadi Per.15/Men/2012 (masa Sharif C. Sutarjo) hanya berubah sampul nyaris tanpa ada perubahan konten. Sungguh prestasi yang memprihatinkan bukan!

Selasa, 30 Oktober 2012

Disertasi Model Integrasi Wisata-Perikanan Di Gugus Pulau Batudaka



ABSTRACT
DWI SULISTIAWATI. Model of Tourism-Fisheries Integration on Batudaka Islands Tojo Una-Una Regency Central Sulawesi Province. Under supervision of LUKY ADRIANTO, ISMUDI MUCHSIN, and A. MASYAHORO.
             Social and ecological characteristics are very important for small-island management and development. The objectives of the study are: 1) to analyze marine ecological character interactions and to estimate resource carrying capacity, and 2) to formulate tourism-fisheries integration on Batudaka islands. The DPSIR (drivers- pressures - states - impacts - responses) framework was used in scoping biodiversity management issues and problems. Data were analyzed using spatial analysis with GIS (Geographic Information System) approach, TEF (Touristic Ecological Footprint) and FEF (Fisheries Ecological Footprint), HANPP (Human Appropriation of Net Primary Productivity), CLSA (Coastal Livelihood System Analysis), supply-demand approach for economic valuaion and dynamic simulation using Stella software. Results of the study showed that the suitability index obtained on the category of tourism (diving, snorkeling) and fisheries (reef fishes, seagrass) were in accordance with the carrying capacity utilization of 23 195  tourists per year. Rate of marine fisheries exploitation was 0.04 ha/capita (local scale/Una-Una district), or 0.3 ha/capita (regional scale/Tojo Una-Una regency). This supported HANNP to higher regional level appealed by local level. The available CLSA strategies were alternative employment creation, proximity to capital source, new technological introduction, market, collectivity and solidarity action on society. Analysis of supply demand obtained a consumer surplus value of US$  21 817 per individual per year and the region’s economic value of US$ 58 273. The model of tourism-fisheries integration indicated  that  ecological  surplus can be maintained at the level of 5 917 tourists on the end simulation with surplus fisheries area, as sustainable indicator on tourism and fisheries activity.

Key words: tourism, fisheries, Batudaka islands, integration model

Senin, 14 Mei 2012

Abstrak Disertasi Pengelolaan Ekowisata Bahari


ABSTRAK

GEDE ARI YUDASMARA. Model Pengelolaan Ekowisata Bahari Di Kawasan Pulau Menjangan Bali Barat. Dibimbing oleh I NJOMAN S NUITJA, ACHMAD FAHRUDIN and SITI NURISJAH.

Indonesia dengan berbagai keanekaragaman sumber daya hayatinya merupakan modal pembangunan yang sangat potensial. Kekayaan alam ini, terdapat di seluruh wilayah Indonesia, baik yang ada di darat maupun di pesisir dan lautan. Potensi sumber daya alam yang melimpah ini, tentunya memerlukan penanganan yang serius agar aset tersebut dapat dipertahankan dan digunakan secara optimal untuk kesejahteraan rakyat. Namun dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan azas manfaat sehingga produktifitasnya dapat terus dirasakan.
Salah satu bentuk pemanfaatan dari kekayaan sumber daya alam tersebut adalah pariwisata. Pariwisata merupakan kegiatan primadona dan telah menjadi bagian dari sektor andalan pembangunan nasional. Data pertumbuhan pariwisata dunia semenjak 1960an sebagaimana dipublikasikan oleh World Tourism Organization (WTO) setiap tahunnya mengalami peningkatan. Banyak negara di dunia berlomba untuk mengembangkan pariwisata sebagai salah satu alternatif dalam meningkatkan kinerja pembangunan nasionalnya.
 Saat ini perkembangan pembangunan pariwisata diarahkan untuk mengacu pada aspek keberlanjutan. Artinya pengembangan yang dilakukan harus didukung secara ekologis dalam jangka panjang sekaligus layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. Munculnya kriteria berkelanjutan tersebut telah mendorong pariwisata yang berbasis alam memunculkan jenis wisata baru yang disebut ekowisata. Ekowisata merupakan bentuk wisata yang relatif baru. Kegiatan ini dikelola dengan pendekatan konservasi, sehingga tidak hanya aspek ekonomi dan sosial masyarakat yang ditonjolkan tetapi juga aspek pendidikan dan pelestarian sumber daya alam dan lingkungannya. Bentuk wisata ini lebih banyak dikembangkan pada daerah yang relatif masih alami.
Satu dari beberapa daerah di Indonesia yang menempatkan pariwisata sebagai sektor utama pembangunannya adalah Bali. Sebagai daerah yang sudah terkenal di dunia dengan pariwisatanya, terutama wisata bahari (sea, sand and sun), Bali masih menyimpan potensi yang dapat dikembangkan terutama di kawasan Bali bagian utara. Salah satunya adalah kawasan pulau Menjangan yang terletak di Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Secara fisik pulau Menjangan tergolong pulau kecil yang unik dengan karakater terumbu karang yang khas. Keberadaan terumbu karang menjadikan kawasan pulau Menjangan sangat cocok dikembangkan sebagai daerah tujuan ekowisata.
Pengembangan suatu kawasan sebagai obyek ekowisata sudah tentu memerlukan kajian-kajian yang menyeluruh dari aspek ekologi, ekonomi, dan sosial agar keberlajutan kegiatan ini dapat terjamin. Untuk itu, tujuan dari penelitian ini adalah 1) menganalisis dan mendeskripsikan kondisi, tingkat kesesuaian dan daya dukung sumber daya dalam menunjang kegiatan ekowisata bahari di kawasan pulau Menjangan, 2) menganalisis dan mendeskripsikan kondisi ekonomi aktivitas wisata, preferensi wisatawan serta partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekowisata bahari saat ini di kawasan pulau Menjangan, 3) menganalisis tingkat optimal pengelolaan ekowisata bahari di kawasan pulau Menjangan, dan 4) merencanakan model pengelolaan ekowisata bahari di kawasan pulau Menjangan yang berkelanjutan dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial.
Pengumpulan data dilakukan melalui survei lapangan, wawancara dan pengumpulan data sekunder. Analisis data terdiri dari (1) analisis ekologi. Melalui analisis ini diperoleh gambaran kondisi dan potensi ekosistem yang ada serta tingkat kesesuaian dan daya dukung kawasan untuk ekowisata; (2) analisis ekonomi. Melalui analisis ini diperoleh gambaran kondisi ekonomi aktivitas wisata dalam pengelolaan; (3) analisis sosial. Hasil analisis diperoleh gambaran tingkat partisipasi masyarakat terhadap kegiatan wisata; dan (4) analisis dinamik model pengelolaan. Hasil analisis ini diperoleh gambaran model yang sesuai dan optimal dalam pengelolaan ekowisata bahari di kawasan pulau Menjangan.
Hasil survei pada 6 stasiun pengamatan menggunakan metode LIT (line intercept transec) menunjukkan persentase tutupan karang hidup di pulau Menjangan adalah sebesar 46.36% atau dalam kategori sedang dengan 50 jenis ikan karang didalamnya. Kerapatan vegetasi mangrove yang diperoleh rata-rata sebesar 11.11 individu/100 m2, sehingga indeks kesesuaian wisata diperoleh dalam kategori sangat sesuai dengan daya dukung pemanfaatan sebanyak 30 240 orang per tahun. Analisa daya tarik wisatawan yang berkunjung ke kawasan pulau Menjangan menunjukkan bahwa ekosistem terumbu karang menjadi daya tarik utama diikuti oleh ekosistem mangrove. Nilai SBE juga menunjukkan bahwa karakter seascape lebih tinggi nilainya dari karakter landscape. Untuk analisa penawaran dan permintaan memperoleh nilai surplus konsumen sebesar US$ 3195 per individu per tahun serta nilai ekonomi kawasan sebesar US$ 1 746 572. Nilai WTP wisatawan rata-rata sebesar US$ 11.37 dengan total nilai WTP dalam setahun sebesar Rp. 1 206 033 757. Tingkat partisipasi masyarakat dikawasan pulau Menjangan tergolong cukup tinggi, dimana dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat pendidikan, pemahaman tentang lingkungan dan pendapatan. Model pengelolaan yang optimal bagi kawasan pulau Menjangan adalah model yang memasukkan unsur kegiatan rehabilitasi didalam skenario pengelolaannya.

Kata kunci: Pulau Menjangan, Ekowisata Bahari, Model Pengelolaan Optimal

Jumat, 11 Mei 2012

Abstrak Disertasi Kasman eM.Ka


ABSTRAK
(Analisis Zona Pesisir Terdampak Berdasarkan Model Dispersi Thermal dari Air Buangan Sistem Air Pendingin PT. Badak NGL Di Perairan Bontang)

Simulasi buangan air pendingin PT. Badak NGL untuk memprediksi pola sebaran suhu telah dilakukan dengan menggunakan model hidrodinamika dan dispersi thermal 3D dengan mengaplikasikan model POM (Princeton Ocean Model) (Mellor 2003). Gaya pembangkit yang digunakan dalam model adalah pasang surut, debit buangan air pendingin dan debit sungai. Pemilihan langkah waktu (Dt)=0.5 detik, dengan 118 grid (barat-timur) dan 187 grid (utara-selatan), ukuran grid Δx=Δy=30 m. Nilai awal : u=v=ζ=0, T0 = 28 oC dan S0 = 32 ‰. Verifikasi elevasi dan suhu antara hasil model dengan hasil pengukuran menunjukkan kesesuaian yang baik dengan nilai korelasi 0.97 untuk verifikasi elevasi, korelasi 0.90 untuk verifikasi suhu permukaan pada saat bulan purnama serta korelasi 0.87 saat bulan perbani. Hasil simulasi menunjukkan perbedaan pola sebaran suhu permukaan paling ekstrim ditemukan pada saat purnama untuk kondisi cuplik pasang maksimum dan surut maksimum. Perbedaan terutama terlihat pada Stasiun 8 (Muara Kanal Pendingin) yakni 41 oC saat surut maksimum dan 35 oC saat pasang maksimum (ΔT=6 oC). Adapun perbedaan suhu antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup besar ditemukan di Stasiun C yakni sekitar 2.54 oC untuk skenario musim kemarau dan 2.32 oC untuk skenario musim hujan. Selanjutnya dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton dan terumbu karang dipelajari dengan menggunakan hasil model dispersi thermal, di mana waktu observasi lapangan untuk fitoplankton disesuaikan dengan waktu cuplik model. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi negatif antara suhu dengan kelimpahan, jumlah spesies dan indeks keanekaragaman fitoplankton. Dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton terutama ditemukan pada perairan dengan suhu >37.91 oC, di mana pada suhu ini jumlah spesies, kelimpahan dan indeks keanekaragaman fitoplankton sangat kecil dibandingkan dengan fitoplankton pada suhu alami. Sementara untuk terumbu karang hasil simulasi dicuplik pada lokasi di mana ditemukan adanya terumbu karang. Hasil analisis menunjukkan bahwa kenaikan suhu sampai 35.3 oC akibat buangan air pendingin menyebabkan kematian total terumbu karang, hal ini ditemukan pada terumbu karang di Sekambing Muara. Sementara kenaikan suhu hingga 33.3 oC di depan Pulau Sieca menyebabkan kerusakan sedang hingga kematian terhadap terumbu karang.

Kata Kunci : model POM, buangan air pendingin dan debit sungai, sebaran suhu, fitoplankton, terumbu karang

Rabu, 18 April 2012

Opini (Bontang Banjir, Salah Siapa?)


BONTANG BANJIR, SALAH SIAPA?
Dr. Kasman eMKa

Banjir di Kota Bontang sudah menjadi agenda tahunan. Agenda alam yang kemudian menimbulkan polemik berkepanjangan diantara orang-orang cerdas dan yang merasa diri cerdas. Banjir bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan sampai menyita waktu dan materi tapi harus diatasi dengan melakukan tindakan konkrit tanpa mengkambinghitamkan salah satu pihak. Banjir merupakan gejala alam maka bahaslah dengan kajian alamiah pula dan kalau memang ada yang harus disalahkan mari kita salahkan karena ketidakberpihakan mereka terhadap keseimbangan alam.
Sebagaimana banjir di kebanyakan daerah, banjir di Kota Bontang terjadi akibat luapan air sungai. Dikatakan meluap karena ‘kondisi sungai’ tidak mampu mengalirkan air ke laut (pesisir) wal hasil air tersebut tumpah ruah ke darat dan terjadilah apa yang kita sebut banjir.
Sebenarnya banjir di kota Bontang dapat dilihat dalam perspektif konsep Tata Ruang DAS-Wilayah Pesisir Terpadu yang di dalamnya ada dua informasi yang harus dikaji, yaitu : (1) informasi ditingkat daerah tangkapan air dan (2) di tingkat daerah hilir (pesisir).
DAS yang terkait dengan wilayah pesisir disebut juga coastal watershed. Pusat-pusat pemukiman perkotaan yang berada dalam wilayah coastal watershed ini cenderung rawan terhadap bencana banjir pada saat curah hujan tinggi yang pada saat bersamaan air laut mengalami pasang (pasut tinggi), kondisi ini menyebabkan outlet sungai tidak mampu mengalirkan air ke laut dan melimpah keluar alurnya (banjir). Ini adalah salah satu dampak interaksi antara daratan dan lautan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di tingkat hulu (daerah tangkapan air) sampai ke hilir dalam perjalanan air ke outlet, antara lain :
(1)         Ketika sungai mengalir melalui lahan pertanian, sungai akan menampung limpahan air hujan yang jatuh di lahan pertanian dan mengalir ke sungai yang membawa residu dari pupuk, pestisida serta senyawa kotoran hewan. Pencemaran dari sumber suatu area” (non-point sources)
(2)         Ketika sungai mengalir melalui lahan perumahan, perkotaan dan industri, air sungai menerima limbah cair dan padat yang kadang toksik (beracun) melalui drainase perkotaan, perumahan dan perindustrian, yang umumnya disebut limbah domestic, dan dikategorikan sebagai “pencemaran dari sumber yang jelas” (point sources)
(3)         Ketika sungai mengalir melalui lahan terbuka, lading/perkebunan dan penggunaan lahan yang tidak lestari atau penggundulan hutan, maka air sungai menerima masukan bahan-bahan kikisan hara dan tanah berupa lumpur serta mengalir dan mengendapkannya di suatu titik dalam perjalanannya sebagai bahan sedimentasi, sehingga aluran air menjadi menyempit.
Untuk kasus Banjir di Kota Bontang, penulis beranggapan bahwa penyebab utama banjir di Kota ini lebih banyak disebabkan oleh semakin parahnya kondisi sebagian besar badan sungai serta coastal watershed yang secara kontinu mengalami pendangkalan oleh adanya transpor sedimen dari sekitar wilayah sungai dan kemudian masuk ke badan air. Berdasarkan kajian ditemukan bahwa sumber utama dari sedimen (non-point sources) tersebut adalah semakin tingginya aktifitas penduduk disekitar wilayah DAS sehingga pada prinsipya bukan hanya masalah banjir yang perlu kita pikirkan tapi potensi pencemaran di wilayah pesisir juga harus mendapat perhatian serius. Dilain sisi semakin gencarnya pembangunan Kota menyebabkan daerah tangkapan air (catchment area) semakin kecil, sehingga pada saat curah hujan tinggi maka outlet sungai tidak mampu lagi mengalirkan air ke laut dan melimpah keluar alurnya dan menggenangi sebagian dataran rendah tersebut. Kondisi ini akan semakin parah manakala curah hujan yang tinggi tersebut bersamaan dengan saat air laut sedang mengalami pasang tinggi.
Mengenai pendapat beberapa pihak yang mengatakan bahwa penyebab banjir berasal dari lokasi tambang, menurut penulis perlu dikaji ulang mengingat secara geografis dan morfologi, keberadaan wilayah tambang tersebut tidak akan memberi kontribusi yang berarti terhadap terjadinya banjir di Kota Bontang. Kami tidak dalam kapasitas membela perusahaan tambang tersebut tapi lebih didasarkan pada kajian ilmiah dan fakta dilapangan.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah dalam hal ini Bappeda perlu menerapkan konsep penataan ruang DAS – Wilayah Pesisir Terpadu seperti yang sedang digagas oleh teman-teman di Dewan Pemuda Sulawesi Selatan. Konsep ini merupakan pengembagan dari konsep lama yakni konsep one river one management system.

Senin, 16 April 2012

Opini (Kaltim Pos)


PEMIMPIN LAHIR DARI SKENARIO KEKUATAN LANGIT
Oleh : Dr. Kasman eMKa



Jika Anda diperhadapkan pada opsi, ingin jadi siapa jika diberi kesempatan memilih :  jadi Soekarno, Gus Dur, Vladimir Putin, Hitler, atau lainnya? Jika Anda orang yang bijak dan mengerti hakekat hidup pastilah Anda menjawab ”saya ingin menjadi diri saya sendiri”. Mengapa? Selain karena yang demikian berada diluar kualitas kewajaran individual kita, juga perlu diingat bahwa seorang Soekarno kecil tidak pernah memplotkan diri sebelumnya untuk menjadi founding father’s negara RI. Pengangkatan Gus Dur menjadi Presiden RI pada tahun 1999 sangat fenomenal dan dianggap berada di luar logika politik para politisi saat itu, realitas ini sekaligus dianggap sebagai bentuk pembenaran dari teori politik Gus Dur yang meyakini bahwa politik merupakan sebuah ketidakpastian yang di dalamnya sarat dengan kekuatan-kekuatan gaib yang signifikan. Kemudian penunjukan Vladimir Putin secara tak terduga oleh Boris Yeltsin menjadi perdana menteri Rusia pada tahun 1999 menimbulkan kekejutan politik (political shock) yang luar biasa tidak hanya di Rusia tapi diseluruh belahan dunia saat itu, tidak kurang Majalah Mingguan News Week menulis ”Russia’s mystery Man” yang mengulas Putin sebagai sosok yang muncul dari balik kepekatan kabut..
Premis di atas menunjukkan bahwa determinasi pemimpin dan kepemimpinan didominasi oleh adanya fenomena transendental berupa representasi kekuatan langit yang terealisasi secara aksidental, sekaligus juga menunjukkan bahwa siapapun bisa jadi pemimpin selama kendali supranatural berpihak pada-nya, sehingga Anda tidak perlu memilih untuk jadi siapapun karena pamor dari tokoh-tokoh di atas mungkin saja tereliminasi oleh aurora kepemimpinan yang ”dimunculkan” pada diri Anda kelak.
Konteks ini hendaknya bisa menggugah objektifitas alam sadar seluruh komponen bangsa dalam menyikapi agenda kolosal bangsa selanjutnya, yakni pemilihan presidan dan wakil presiden 5 Juli 2004, dengan melapangkan hati menerima siapapun yang akan terpilih dalam pemilihan tersebut. Dan untuk pelaku politik hendaknya menyadari sepenuhnya bahwa perjuangan sekeras dan secerdas apapun yang ditempuh saat ini untuk mem-presiden-kan capresnya tidak lebih dari sebuah upaya mempertegas skenario dari kekuatan langit, dengan demikian pilpres yang akan datang bisa berjalan secara alami, bersih dan didasarkan pada keyakinan di atas langit ada langit.
Memilih Capres dan Cawapres
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemimpin meskipun merupakan hasil skenario yang maha adil, namun kenyataannya tidak jarang pemimpin yang keluar dari bingkai keadilan dan mengambil posisi oposisi terhadap nilai-nilai keadilan publik yang ada. Indikasi ini juga telah terdeteksi dalam proses pemilihan presiden RI yang akan datang, dimana hampir semua capres disinyalir melekat pada dirinya kekurangan demi kekurangan : Wiranto dengan kasus pelanggaran HAM-nya, Megawati dengan ketidakmampuan managerial-nya, SBY disinyalir di back up oleh Amerika, Amin Rais dengan ke-grudag-grudug-annya, Hamzah Has dengan kelemahan konseptual dan ketokohannya.
Terlepas dari benar tidaknya sinyalemen tersebut, namun kenyataan menunjukkan bahwa proses pemilihan presiden kita kali ini diawali oleh ditaburkannya genderang ketidakfairan pemain-pemain politik ditingkat elit baik langsung maupun tidak langsung dengan berupaya melakukan pembunuhan karakter (character Assasination) terhadap capres lain yang pada hakekatnya bisa menimbulkan preseden buruk bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara ke depan berupa munculnya akumulasi kejengkelan terhadap capres yang distigmatisasi tersebut. Mereka tidak sadar bahwa meskipun kekurangan capres di atas ditambah dengan segudang kekurangan dan sejuta keburukan lainnya, namun hal itu tidak akan mengurangi probablitasnya untuk terpilih menjadi pemimpin kita ke depan, karena semua itu akan kembali pada konsep yang terdefinisikan di atas.
Tulisan ini tentunya tidak bermaksud membuka wacana apatis dalam proses pemilihan presiden mendatang, tapi seyogianyalah kita menumbuhkan rasa sportifitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dalam mencapai target politik kita, dan sadar bahwa pemimpin yang akan terpilih kelak adalah orang pilihan dari penguasa langit yang harus kita terima dengan segala kekurangannya tentunya dengan memperhatikan mekanisme demokrasi yang kita sepakati.


Pemimpin adalah representasi dari rakyatnya
            Siapapun dan bagaimanapun kelak yang akan menjadi orang nomor satu di NKRI yang kita cintai ini, maka behaviour dan karakternya tidak jauh dari karakter sebagian besar rakyat Indonesia. Jika seandainya yang terpilih kemudian adalah seorang koruptor maka itu adalah gambaran bahwa atmosfir Indonesia saat ini masih didominasi oleh polutan koruptor, jika yang terpilih adalah seorang penjahat kemanuasiaan maka  yakinlah sebagian besar dalam dada mayoritas bangsa Indonesia telah kehilangan sense of humanity-nya, dan begitu seterusnya.
Karena itu dalam hal pemilihan capres, partisipasi politik kita diharapkan akan memberikan kontribusi dalam pemetaan menuju apa yang kita yakini nilai kebenarannya dan tentunya ini hanya akan tercapai dengan bersikap objektif, dan lebih mengedepankan hati nurani ketika menjatuhkan pilihan pada salah satu calon presiden.
Pemimpin yang Ideal
            Jika kekayaan alam Indonesia diplotkan dengan aspek historis sosio-economical masyarakat Indonesia yang mencitrakan ketidakmapanan sejak jaman orde lama, orde baru kemudian orde reformasi, maka kesimpulan yang umum dan paling logis untuk dilontarkan adalah ”itu adalah implikasi komulatif dari ketidakmampuan individual pemimpin kita dalam mengelola bangsa dan negara kita selama ini”.
Kesimpulan ini tentunya tidak semua benar, namun sangat berdasar manakala kita mencermati otoritas signifikan yang dimiliki oleh seorang pemimpin dalam menentukan arah perjalanan suatu bangsa. Dengan kata lain kualitas kolektif individual seorang pemimpin merupakan parameter mutlak terwujudnya suatu bangsa yang sejahtera dan bermartabat.
Kompleksitas persoalan yang sedang melilit bangsa ini, mulai dari hutang luar negeri yang sedemikian besarnya (economical problem), disintegrasi bangsa yang senantiasa mengancam (internal security), sampai kepada martabat dan kedaulatan bangsa yang mulai dinodai (international problems), hendaknya bisa menjadi bahan renungan bagi semua elemen bangsa untuk tidak gegabah menentukan sikap khususnya dalam memilih capres mendatang, karena ini akan menyangkut kolektifitas kualitas futuristik berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini warga negara Indonesia (termasuk capres yang akan dipilih) yang keliru dalam memilih presiden mendatang berarti turut memberi kontribusi negatif terhadap kehidupan berbangsa secara keseluruhan.
Menyadari peran pemimpin yang sedemikian sentralnya, tentunya kita merindukan pemimpin yang ideal (meminjam istilah Iwan Fals : manusia setengah dewa) untuk menahkodai bangsa ini kedepan. Dalam konteks pemilihan pemimpin nasional, ada beberapa variabel mutlak yang harus dimiliki seorang  presiden mendatang : pertama, mempunyai kualitas intelektual dan wawasan yang luas. Walaupun dalam mengeluarkan kebijakan seorang presiden di bantu oleh para menteri-menterinya namun sensitifitas intelektual dan keluasan wawasannya sangat menentukan proses dan bentuk kebijakan yang akan dihasilkan. kedua, mempunyai sifat amanah dan berani. Masih gentayangannya koruptor, indikasi munculnya kembali pola militeristik, penegakan hukum yang tidak tegas, merupakan bentuk pengkhianatan terhadap agenda reformasi yang telah disepakati, karena itu kedepan kita butuh pemimpin yang berani mengemban amanah reformasi bagaimanapun berat dan tantangannya. ketiga, memiliki kesabaran yang telah teruji dan tidak banyak terlibat dalam konstalasi politik masa lalu, hal ini menjadi penting mengingat gerakan-gerakan anti kemapanan akan senantiasa  merapatkan barisan untuk menjagal agenda reformasi dengan menghalalkan segala cara, karena itu pemimpin yang akan datang harus sabar menghadapi godaan material dan siap teralienasi dari pergaulan penguasa masa lalu.
Yang jadi pertanyaan sekarang adakah diantara 5 figur di atas yang memenuhi atau minimal mendekati syarat-syarat tersebut? Jawabannya tentu sudah ada dalam hati nurani kita masing-masing!

Opini (Kaltim Pos)


OCEAN POLICY PEMERINTAH KALTIM DI ERA OTONOMI DAERAH
Oleh : Kasman eM.Ka
(Mahasiswa Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung - jurusan Oseanografi)

Ekspektasi masyarakat pesisir Kalimantan Timur untuk segera memposisikan diri secara sejajar dengan masyarakat daratan dalam konteks pencapaian kualitas hidup yang layak mulai diretas sejak diberlakukannya konsep otonomi daerah dengan diundangkannya beberapa UU yang didalamnya memuat sentimen-sentimen pembangunan kelautan diantaranya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang mengatur kewenangan provinsi dalam pengelolaan wilayah laut dalam batasan 12 mil yang diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan serta UU No. 25 Tahun 1999 tentang pembagian alokasi pendapatan antara pemerintah pusat dan daerah yang berasal dari pemanfaatan SDA termasuk sumber daya pesisir dan laut (pasal 6 ayat 5)
Harapan ini menjadi sangat wajar mengingat secara geografis luas wilayah laut Kalimantan Timur mencapai 9.800.000 Ha dengan panjang garis pantai 1.185 km yang terbentang dari Kabupaten Pasir di selatan sampai Kabupaten Nunukan di utara, laut Kaltim sebagian besar terdiri dari laut dengan kedalaman 200 – 1000 m, suatu kondisi yang sangat produktif untuk pengembangan biodiversity jika dilihat dari morfologinya. Selain itu populasi penduduk yang sebagian besar bermukim dan menggantungkan hidup dengan merambah wilayah pesisir, merupakan asset yang tak ternilai harganya.
Instrumen-instrumen ini dianggap oleh masyarakat pesisir dapat menjadi motifasi factual bagi pemerintah daerah untuk memberi perhatian yang lebih serius dalam mengkaji dan mengolah potensi kelautan daerah dengan merumuskan kebijakan kelautan (ocean policy) yang jelas dan tegas menuju terwujudnya pemerataan kesejahteraan rakyat diseluruh wilayah Kaltim, khususnya wilayah pesisir yang selama ini termarjinalkan .  
Ironisnya ekspektasi tersebut masih harus menggelantung di langit impian masyarakat marjinal ini, mengingat sector kelautan yang didefinisikan sebagai sektor perikanan, pariwisata bahari, bangunan kelautan, dan jasa kelautan dewasa ini masih ditempatkan sebagai sektor pinggiran (peripheral sector) dalam kebijakan-kebijakan makro pembangunan daerah. Adapun program prioritas pembangunan pemerintah Kaltim 2001-2005 yang diatur dalam perda program pembangunan daerah adalah : 1) Program Pengembangan  Sumber Daya Manusia (SDM), 2) Program Pengembangan Infrastruktur, 3) Program Pembangunan Pertanian
Pemandangan ini menimbulkan implikasi langsung maupun tidak langsung terhadap terciptanya kemiskinan yang akut di wilayah pesisir Kaltim, sehingga tidaklah berlebihan bila ocean policy pemerintah daerah saat ini diklaim sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap nilai kemanusiaan di mana hak-hak rakyat banyak untuk memperoleh penghidupan yang layak terabaikan.
Resistensi Pembangunan Wilayah Pesisir
Masalah yang dihadapi dalam upaya membangun wilayah pesisir senantiasa terbentur pada kebijakan kelautan (ocean policy) pemerintah dan aspek sosio-cultural yang melekat pada masyarakat itu sendiri, yang bisa diuraikan menjadi : Pertama, paradigma pembangunan pemerintah Kaltim sangat hegemonistik daratan dan menempatkan laut dalam posisi tidak populer dan termarjinalkan. Kebijakan ini disadari lebih banyak diilhami oleh euphoria terhadap potensi kekayaan alam yang melimpah dan terdistribusi dihampir seluruh  wilayah daratan Kaltim. Dalam konsep otonomi daerah jelas kebijakan ini sangat kontra produktif dan kurang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian rakyat terutama di wilayah pesisir dan sekaligus juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak mempunyai konsep pembangunan yang menyeluruh (holistic) serta kurangnya keberpihakan terhadap masyarakat marjinal.
Kedua, Selama masa pemerintahan orde baru lautan tidak pernah diikutkan dalam mainstream pembangunan baik Nasional maupun daerah, sehingga biasnya sampai sekarang, menempatkan potensi kelautan berada pada posisi bargaining yang lemah, akibatnya kajian dalam bidang kelautan sangat jarang disentuh baik oleh pembuat kebijakan (policy maker) maupun oleh para aktor gerakan masyarakat civil (seperti LSM) di daerah. Realitas ini semakin jelas terlihat pada masa kampanye Pemilihan Umum 11 Maret sampai 1 April 2004 lalu, di mana tak satupun partai peserta pemilu yang mengangkat masalah-masalah kelautan sebagai isu sentral dalam pemaparan visi dan misi partai. Ketiga, masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir memiliki karakteristik dan dinamika yang khas terutama aspek psikologis dan cultural masyarakat serta pengetahuan local (indigenous knowledge) dan tradisi-tradisi lokal, sehingga agak sulit untuk merumuskan suatu konsep baku dalam menangani masalah-masalah yang timbul.
Konsep Pembangunan Pesisir
Paling tidak ada lima materi pokok yang harus diprioritaskan dalam pengelolaan wilayah pesisir Kaltim guna mengangkat kualitas hidup masyarakat di sekitarnya : Pertama, Peningkatan SDM yang handal dan penerapan teknologi tepat guna di wilayah pesisir. Hasil penelitian mengenai identifikasi faktor-faktor yang berperan dalam pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa peningkataan SDM menyumbang sebanyak 16 %, penerapan teknologi 34 %, akumulasi capital investasi 12%, alokasi sumber daya yang efisien 11 %, skala ekonomi 11 % sisanya adalah penggunaan input secara tepat (market based approach). Peningkatan kualitas SDM untuk pembangunan wilayah pesisir dapat dicapai  diantaranya dengan : a) mengembangkan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi laut, sistem informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup wilayah pesisir  b) meningkatkan kapasitas masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan. c) memasukkan pelajaran kurikulum kelautan pada sekolah dasar sampai sekolah lanjutan atas di daerah-daerah. Kedua, Peningkatan investasi secara profesional dan selektif dibidang kelautan dengan mengidentifikasi dan menganalisis stakeholder, yaitu semua yang terlibat di dalam proses, atau permasalahan yang sudah dirumuskan batas-batasnya. Dalam tataran ini pihak yang kompeten (pemerintah) harus mampu memahami persepsi dan sistem komunikasi stakeholder dengan mempelajari kegiatan mereka dan mengamati dampak yang ditimbulkannya serta melakukan pembicaraan dengan individu-individu yang terlibat. Upaya ini dimaksudkan untuk memangkas aktifitas pemburu rente (rent-seekers) di sekitar wilayah pesisir yang senantiasa berupaya mengeksploitasi potensi kelautan secara berlebihan tanpa mengindahkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), hal ini menjadi penting dalam proses pemberdayaan potensi kelautan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat antargenerasi (intergenerational welfare).
Ketiga, Mengontrol kualitas laut dalam pengertian global. Dalam kajian teoretis (theoretical approach) eksistensi perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di wilayah pesisir Kaltim memberi asumsi akan menimbulkan dampak serius bagi kualitas kolektif pesisir terutama terhadap lingkungan (saat ini penulis dalam proses pemodelan sebaran polutan di wilayah pesisir Kaltim). Adalah penting dipahami bahwa perusahaan yang membuang limbah ke laut baik berupa bahan kimia (chemical content, misalnya tumpahan minyak atau logam-logam berat) maupun pencemaran fisis (misalnya, buangan limbah panas) baik langsung maupun tidak langsung tanpa memperhatikan aspek lingkungan berarti pihak perusahaan harus bertanggung jawab atas kontribusinya terhadap hancurnya sendi-sendi perekonomian dan masa depan masyarakat pesisir. Dalam konteks ini control dari segenap masyarakat menjadi sangat penting disamping upaya sosialisasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut juga harus gencar disuarakan oleh pemerhati masalah laut. Keempat, Membangun sinergitas antar lembaga pemerintahan dan swasta serta organisasi kemasyarakatan yang berkonsentrasi di bidang ini dalam mewujudkan konsep kelautan yang telah menjadi konsensus bersama. Kelima, dan ini merupakan main factor dari keseluruhan langkah di atas, yaitu kemauan politik (political will) pemerintah dan legislative dalam mengelola potensi kelautan dengan membuat kebijakan kelautan (ocean policy) yang lebih proporsional.
Paradigma pembangunan yang hegemoni darat dan cenderung meninggalkan laut yang diimplementasikan oleh pemerintah Kaltim, saat ini masih mampu mengelabui wilayah sadar mayoritas masyarakat kaltim, tapi 10 – 20 tahun mendatang kelak proses pengelabuan itu akan menuai hujatan dan makian dari generasi penerus di wilayah ini, mengingat sumber daya alam yang kini dibangga-banggakan merupakan kekayaan alam yang tidak dapat diperbaharui (irrecoverable) dan akan mengalami titik kritis dan di saat itulah tingkat kesulitan hidup akan semakin terasa. Tapi, 10 – 20 tahun mendatang adalah waktu yang terlalu lama untuk menggugat dan menghujat saya! Mungkin itulah yang ada dalam benak decision maker kita saat ini, benar ngak pak!
day� ` a p2 / kungan hidup secara berkelanjutan. c) memasukkan pelajaran kurikulum kelautan pada sekolah dasar sampai sekolah lanjutan atas di daerah-daerah.
Kedua, melakukan kampanye dan promosi potensi kelautan Sulbar secara profesional dalam rangka menarik investor dengan mengidentifikasi dan menganalisis semua stakeholder yang terlibat di dalam proses, atau permasalahan yang sudah dirumuskan batasan-batasannya. Dalam tataran ini pihak yang kompeten (pemerintah) harus mampu memahami persepsi dan sistem komunikasi stakeholder dengan mempelajari kegiatan mereka dan mengamati dampak yang ditimbulkannya serta melakukan pembicaraan dengan individu-individu yang terlibat. Upaya ini dimaksudkan untuk memangkas aktifitas pemburu rente (rent-seekers) di sekitar wilayah pesisir yang senantiasa berupaya mengeksploitasi potensi kelautan secara berlebihan tanpa mengindahkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), hal ini menjadi penting dalam proses pemberdayaan potensi kelautan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat antargenerasi (intergenerational welfare).
Ketiga, mengontrol kualitas laut dengan melakukan penataan ruang laut-darat secara profesional dan terintegrasi (konsep dan strategi tata ruang laut akan diuraikan dalam tulisan tersendiri). Keempat, membangun sinergitas antar lembaga pemerintah dan swasta serta organisasi kemasyarakatan yang berkonsentrasi di bidang kelautan dalam mewujudkan konsep kelautan yang telah menjadi konsensus bersama. Kelima, dan ini merupakan faktor determinan dari keseluruhan langkah di atas, yaitu political will  pemerintah daerah dan legislatif dalam mengelola potensi kelautan dengan membuat kebijakan kelautan (ocean policy) yang lebih proporsional.

Opini (Harian Fajar)


MENGGAGAS KELAUTAN SEBAGAI MAINSTREAM PEMBANGUNAN SULAWESI BARAT
Oleh : Dr. Kasman eMKa1)
1)      Direktur Eksekutif Pusat Kajian dan Pengembangan Kemaritiman Nasional (PUSKANAL) Jakarta

6 tahun 11 bulan sudah usia Sulawesi Barat berstatus sebagai provinsi terhitung sejak disahkannya UU No. 26 Tahun 2004 tentang pembentukan Provinsi Sulawesi Barat, selama itu pula pembangunan di Sulbar mulai lebih menggeliat entah itu by design pemerintah daerah ataukah sesuatu yang absurd (hadir begitu saja). Wallahu a’lam. Namun yang pasti nilai yang ditorehkan itu akan tereduksi manakala pembangunan yang berorientasi pada karakter dan kultur masyarakat Sulawesi Barat terabaikan. Oleh karena itu pemerintah daerah perlu melakukan terobosan-terobosan pembangunan yang dapat menunjukkan jati diri daerah ini.
Langkah terobosan itu harus dimulai dengan melakukan identifikasi dan analisis potensi yang dimiliki secara komprehensif oleh pemerintah daerah dengan tetap memperhatikan aspek historis dan kultural masyarakat agar dihasilkan konsep dan srategi pembangunan yang terintegrasi dan berkesinambungan (sustainable development) menuju terciptanya masyarakat yang sejahtera dan mandiri.
Salah satu potensi terbesar yang dimiliki Provinsi Malaqbi ini adalah terbentangnya laut yang sedemikian luas dengan posisi sangat strategis -dapat menjadi interkoneksi antar provinsi di Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan- dan perairan relatif masih steril dari pencemaran. Kelautan Sulbar mengandung kekayaan alam yang melimpah, sebut saja adanya 9 blok migas di sepanjang garis pantai yang saat ini dalam tahap eksplorasi, memiliki daerah yang potensial untuk  dikembangkan menjadi kawasan wisata bahari, serta latar belakang nenek moyang Suku Mandar yang terkenal sebagai pelaut-pelaut tangguh dengan kearifan lokal yang secara alamiah menyusun struktur sosio-kultural masyarakat pesisir-nya. Berdasarkan thesa diatas, maka penulis berdasarkan kalkulasi scientific based meyakini bahwa “dengan konsep dan strategi pengelolaan potensi laut yang benar, cukuplah Sulbar berbenah diri menuju provinsi yang sejahtera
Prospek pembangunan sektor kelautan yang didefinisikan sebagai sektor perikanan, transportasi, pertambangan, pariwisata bahari, bangunan kelautan, dan jasa kelautan sebagai mainstream pembangunan Provinsi Sulawesi Barat menjadi lebih rasional terutama jika dikaitkan dengan diundangkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang mengatur kewenangan provinsi dalam pengelolaan sumber daya wilayah laut dalam batasan 12 mil yang diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan (pasal 18 ayat 4). Berdasarkan undang-undang tersebut maka panjang garis pantai Sulbar mencapai ±667 km yang terbentang dari Desa Paku Kabupaten Polewali Mandar hingga daerah Suremana Kabupaten Mamuju Utara dengan luas perairan mencapai 20.342 km2.
Premis-premis di atas diharapkan dapat memberi dorongan moral bagi pemerintah daerah untuk melakukan reposisi kelautan dalam strategi pembangunan Sulbar, sehingga dalam konteks ini kelautan tidak lagi diposisikan sebagai sektor pinggiran (peripheral sector) melainkan jadi arus utama (main sector) dalam pembangunan. Gagasan ini adalah sebuah gagasan besar dan hanya mampu dilakukan oleh pemimpin daerah yang suka berpetualang heroik karena untuk mencapai hal tersebut akan diperhadapkan pada resistensi yang besar mengingat kultur kepemimpinan kita dihampir semua level cenderung hedonistis.
Dalam tataran ini masyarakat Sulbar yang sedang diambang pemilihan langsung gubernur dan wakil gebernur berpeluang memberikan kontribusi konstruktif dengan mencermati dan memberikan dukungan politik bagi calon gubernur dan wakil gubernur yang memiliki kapabilitas dan komitmen dalam mewujudkan grand skenario ini.
Resistensi Pembangunan Wilayah Pesisir
Disadari atau tidak pembangunan di beberapa daerah termasuk Sulbar baik ditingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten selama ini telah menempatkan posisi laut sebagai sektor pinggiran (peripheral sector) dalam kebijakan-kebijakan makro pembangunan daerah. Kondisi ini dapat dilihat dari adanya politik anggaran yang tidak berpihak pada sektor kelautan, dimana untuk anggaran ke dinas-dinas kelautan sangat minim, hingga tidak mencapai 1% dari APBD. Pemerintah daerah seolah ridho melihat rakyat miskin di wilayah pesisir bertarung sendiri melawan ketidakberuntungan mereka. Implikasi dari fakta tersebut adalah terpeliharanya kemiskinan yang akut pada masyarakat pesisir yang tidak semestinya terjadi.
Paradigma pembangunan pemerintah masih menggunakan pola pendekatan lama yang cenderung kolot dimana laut tidak pernah diikutkan dalam mainstream pembangunan dan sangat hegemonistik daratan. Kolot karena pada saat yang bersamaan daerah-daerah lain justru menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui sektor kelautan dan perikanan. Salah satu fakta yang menunjukkan kondisi tersebut adalah tidak dimasukkannya Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K) dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Alih-alih memasukkan RSWP-3-K dalam RPJPD terpikir untuk menyusunnya pun sampai kini masih menjadi pertanyaaan.
Dalam konsep otonomi daerah jelas kebijakan ini sangat kontra produktif dan kurang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian rakyat terutama di wilayah pesisir dan sekaligus juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak mempunyai konsep pembangunan yang menyeluruh (holistic) serta kurangnya keberpihakan terhadap masyarakat marjinal. Pemandangan inilah yang kemudian menimbulkan stigma bahwa Ocean policy pemerintah daerah masa lalu merupakan bentuk pengingkaran jati diri daerah malaqbi sekaligus menjadi simbol kekerasan terhadap nilai kemanusiaan di mana hak-hak rakyat banyak untuk memperoleh penghidupan yang layak terabaikan.
Konsep Pengelolaan WilayahPesisir            
Paling tidak ada lima materi pokok yang harus diprioritaskan dalam pengelolaan wilayah pesisir Sulbar guna mengangkat kualitas hidup masyarakat di sekitarnya : Pertama, Peningkatan sumber daya manusia yang handal dan penerapan teknologi tepat guna di wilayah pesisir. Diakui bahwa kualitas tradisional SDM pelaut-pelaut Mandar sepanjang sejarah tidak diragukan lagi, namun dalam konteks ini kualitas yang dimaksud adalah kualitas kolektif multidimensional yang berpengaruh pada pola hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Hasil penelitian mengenai identifikasi faktor-faktor yang berperan dalam pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa peningkataan SDM menyumbang sebanyak 16 %, penerapan teknologi 34 %, akumulasi capital investasi 12 %, alokasi sumber daya yang efisien 11 %, skala ekonomi 11 % sisanya adalah penggunaan input secara tepat (market based approach). Peningkatan kualitas SDM untuk pembangunan wilayah pesisir dapat dicapai diantaranya dengan : a) mengembangkan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam mengelola potensi laut, sistem informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup wilayah pesisir. b) meningkatkan kapasitas masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan. c) memasukkan pelajaran kurikulum kelautan pada sekolah dasar sampai sekolah lanjutan atas di daerah-daerah.
Kedua, melakukan kampanye dan promosi potensi kelautan Sulbar secara profesional dalam rangka menarik investor dengan mengidentifikasi dan menganalisis semua stakeholder yang terlibat di dalam proses, atau permasalahan yang sudah dirumuskan batasan-batasannya. Dalam tataran ini pihak yang kompeten (pemerintah) harus mampu memahami persepsi dan sistem komunikasi stakeholder dengan mempelajari kegiatan mereka dan mengamati dampak yang ditimbulkannya serta melakukan pembicaraan dengan individu-individu yang terlibat. Upaya ini dimaksudkan untuk memangkas aktifitas pemburu rente (rent-seekers) di sekitar wilayah pesisir yang senantiasa berupaya mengeksploitasi potensi kelautan secara berlebihan tanpa mengindahkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), hal ini menjadi penting dalam proses pemberdayaan potensi kelautan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat antargenerasi (intergenerational welfare).
Ketiga, mengontrol kualitas laut dengan melakukan penataan ruang laut-darat secara profesional dan terintegrasi (konsep dan strategi tata ruang laut akan diuraikan dalam tulisan tersendiri). Keempat, membangun sinergitas antar lembaga pemerintah dan swasta serta organisasi kemasyarakatan yang berkonsentrasi di bidang kelautan dalam mewujudkan konsep kelautan yang telah menjadi konsensus bersama. Kelima, dan ini merupakan faktor determinan dari keseluruhan langkah di atas, yaitu political will  pemerintah daerah dan legislatif dalam mengelola potensi kelautan dengan membuat kebijakan kelautan (ocean policy) yang lebih proporsional.

Susunan Pengurus


Lampiran Surat Keputusan No. IST/PUSKANAL/I/2012 Pusat Kajian dan Pengembangan Kemaritiman Nasional tentang Susunan Pengurus Pusat Kajian dan Pengembangan Kemaritiman Nasional Periode 2012 - 2015


Dewan Pembina
Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin
                       

Dewan Pakar            
Dr. Ir. Andi Irwan Nur, M.E.S
Dr. Ir. Sadikin Amir, SP
Dr. Hamzah Tahang, S.Pi, M.Si
Dr. Alimuddin Laapo, SP, M.Si
Dr. Ir. David Hermawan, M.Si
Dr. Abdul Rauf, S.Pi, M.Si
Dafiuddin Salim, S.Kel, M.Si

Dewan Eksekutif
Direktur Eksekutif      :  Dr. Kasman eMKa, S.Si, M.Si
Sekretaris Eksekutif   :  Ir. Achmad Huzairin, M.Si
Manajer Keuangan     : Dr(Cand). Yar Johan, S.Pi, M.Si

Program :
Analisis Kebijakan Kemaritiman Nasional
Manajer                      :  Mujio Sukir, S.Pi, M.Si
Anggota                      :  Akbar Hamzah, SKM, MM
                                     Mercy Patanda, S.Si, M.Si

Penelitian dan Pengembangan Kemaritiman Nasional
Manajer                      :  Akhmad Mansyur, SP, M.Si
Anggota                      :  Novit Rikardi, S.Pi
                                      Ir. Ade Ibrahim, MT

Pengembangan Kapasitas Sumberdaya Manusia dan Kelembagaan
Manajer                      :  Dr. Taufik Hasbullah, MM
Anggota                      :  Sahnul S Titaheluw, S.Kel, M.Si
                                      S. Hasan