Senin, 16 April 2012

Opini (Harian Fajar)


MENGGAGAS KELAUTAN SEBAGAI MAINSTREAM PEMBANGUNAN SULAWESI BARAT
Oleh : Dr. Kasman eMKa1)
1)      Direktur Eksekutif Pusat Kajian dan Pengembangan Kemaritiman Nasional (PUSKANAL) Jakarta

6 tahun 11 bulan sudah usia Sulawesi Barat berstatus sebagai provinsi terhitung sejak disahkannya UU No. 26 Tahun 2004 tentang pembentukan Provinsi Sulawesi Barat, selama itu pula pembangunan di Sulbar mulai lebih menggeliat entah itu by design pemerintah daerah ataukah sesuatu yang absurd (hadir begitu saja). Wallahu a’lam. Namun yang pasti nilai yang ditorehkan itu akan tereduksi manakala pembangunan yang berorientasi pada karakter dan kultur masyarakat Sulawesi Barat terabaikan. Oleh karena itu pemerintah daerah perlu melakukan terobosan-terobosan pembangunan yang dapat menunjukkan jati diri daerah ini.
Langkah terobosan itu harus dimulai dengan melakukan identifikasi dan analisis potensi yang dimiliki secara komprehensif oleh pemerintah daerah dengan tetap memperhatikan aspek historis dan kultural masyarakat agar dihasilkan konsep dan srategi pembangunan yang terintegrasi dan berkesinambungan (sustainable development) menuju terciptanya masyarakat yang sejahtera dan mandiri.
Salah satu potensi terbesar yang dimiliki Provinsi Malaqbi ini adalah terbentangnya laut yang sedemikian luas dengan posisi sangat strategis -dapat menjadi interkoneksi antar provinsi di Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan- dan perairan relatif masih steril dari pencemaran. Kelautan Sulbar mengandung kekayaan alam yang melimpah, sebut saja adanya 9 blok migas di sepanjang garis pantai yang saat ini dalam tahap eksplorasi, memiliki daerah yang potensial untuk  dikembangkan menjadi kawasan wisata bahari, serta latar belakang nenek moyang Suku Mandar yang terkenal sebagai pelaut-pelaut tangguh dengan kearifan lokal yang secara alamiah menyusun struktur sosio-kultural masyarakat pesisir-nya. Berdasarkan thesa diatas, maka penulis berdasarkan kalkulasi scientific based meyakini bahwa “dengan konsep dan strategi pengelolaan potensi laut yang benar, cukuplah Sulbar berbenah diri menuju provinsi yang sejahtera
Prospek pembangunan sektor kelautan yang didefinisikan sebagai sektor perikanan, transportasi, pertambangan, pariwisata bahari, bangunan kelautan, dan jasa kelautan sebagai mainstream pembangunan Provinsi Sulawesi Barat menjadi lebih rasional terutama jika dikaitkan dengan diundangkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang mengatur kewenangan provinsi dalam pengelolaan sumber daya wilayah laut dalam batasan 12 mil yang diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan (pasal 18 ayat 4). Berdasarkan undang-undang tersebut maka panjang garis pantai Sulbar mencapai ±667 km yang terbentang dari Desa Paku Kabupaten Polewali Mandar hingga daerah Suremana Kabupaten Mamuju Utara dengan luas perairan mencapai 20.342 km2.
Premis-premis di atas diharapkan dapat memberi dorongan moral bagi pemerintah daerah untuk melakukan reposisi kelautan dalam strategi pembangunan Sulbar, sehingga dalam konteks ini kelautan tidak lagi diposisikan sebagai sektor pinggiran (peripheral sector) melainkan jadi arus utama (main sector) dalam pembangunan. Gagasan ini adalah sebuah gagasan besar dan hanya mampu dilakukan oleh pemimpin daerah yang suka berpetualang heroik karena untuk mencapai hal tersebut akan diperhadapkan pada resistensi yang besar mengingat kultur kepemimpinan kita dihampir semua level cenderung hedonistis.
Dalam tataran ini masyarakat Sulbar yang sedang diambang pemilihan langsung gubernur dan wakil gebernur berpeluang memberikan kontribusi konstruktif dengan mencermati dan memberikan dukungan politik bagi calon gubernur dan wakil gubernur yang memiliki kapabilitas dan komitmen dalam mewujudkan grand skenario ini.
Resistensi Pembangunan Wilayah Pesisir
Disadari atau tidak pembangunan di beberapa daerah termasuk Sulbar baik ditingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten selama ini telah menempatkan posisi laut sebagai sektor pinggiran (peripheral sector) dalam kebijakan-kebijakan makro pembangunan daerah. Kondisi ini dapat dilihat dari adanya politik anggaran yang tidak berpihak pada sektor kelautan, dimana untuk anggaran ke dinas-dinas kelautan sangat minim, hingga tidak mencapai 1% dari APBD. Pemerintah daerah seolah ridho melihat rakyat miskin di wilayah pesisir bertarung sendiri melawan ketidakberuntungan mereka. Implikasi dari fakta tersebut adalah terpeliharanya kemiskinan yang akut pada masyarakat pesisir yang tidak semestinya terjadi.
Paradigma pembangunan pemerintah masih menggunakan pola pendekatan lama yang cenderung kolot dimana laut tidak pernah diikutkan dalam mainstream pembangunan dan sangat hegemonistik daratan. Kolot karena pada saat yang bersamaan daerah-daerah lain justru menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui sektor kelautan dan perikanan. Salah satu fakta yang menunjukkan kondisi tersebut adalah tidak dimasukkannya Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K) dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Alih-alih memasukkan RSWP-3-K dalam RPJPD terpikir untuk menyusunnya pun sampai kini masih menjadi pertanyaaan.
Dalam konsep otonomi daerah jelas kebijakan ini sangat kontra produktif dan kurang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian rakyat terutama di wilayah pesisir dan sekaligus juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak mempunyai konsep pembangunan yang menyeluruh (holistic) serta kurangnya keberpihakan terhadap masyarakat marjinal. Pemandangan inilah yang kemudian menimbulkan stigma bahwa Ocean policy pemerintah daerah masa lalu merupakan bentuk pengingkaran jati diri daerah malaqbi sekaligus menjadi simbol kekerasan terhadap nilai kemanusiaan di mana hak-hak rakyat banyak untuk memperoleh penghidupan yang layak terabaikan.
Konsep Pengelolaan WilayahPesisir            
Paling tidak ada lima materi pokok yang harus diprioritaskan dalam pengelolaan wilayah pesisir Sulbar guna mengangkat kualitas hidup masyarakat di sekitarnya : Pertama, Peningkatan sumber daya manusia yang handal dan penerapan teknologi tepat guna di wilayah pesisir. Diakui bahwa kualitas tradisional SDM pelaut-pelaut Mandar sepanjang sejarah tidak diragukan lagi, namun dalam konteks ini kualitas yang dimaksud adalah kualitas kolektif multidimensional yang berpengaruh pada pola hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Hasil penelitian mengenai identifikasi faktor-faktor yang berperan dalam pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa peningkataan SDM menyumbang sebanyak 16 %, penerapan teknologi 34 %, akumulasi capital investasi 12 %, alokasi sumber daya yang efisien 11 %, skala ekonomi 11 % sisanya adalah penggunaan input secara tepat (market based approach). Peningkatan kualitas SDM untuk pembangunan wilayah pesisir dapat dicapai diantaranya dengan : a) mengembangkan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam mengelola potensi laut, sistem informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup wilayah pesisir. b) meningkatkan kapasitas masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan. c) memasukkan pelajaran kurikulum kelautan pada sekolah dasar sampai sekolah lanjutan atas di daerah-daerah.
Kedua, melakukan kampanye dan promosi potensi kelautan Sulbar secara profesional dalam rangka menarik investor dengan mengidentifikasi dan menganalisis semua stakeholder yang terlibat di dalam proses, atau permasalahan yang sudah dirumuskan batasan-batasannya. Dalam tataran ini pihak yang kompeten (pemerintah) harus mampu memahami persepsi dan sistem komunikasi stakeholder dengan mempelajari kegiatan mereka dan mengamati dampak yang ditimbulkannya serta melakukan pembicaraan dengan individu-individu yang terlibat. Upaya ini dimaksudkan untuk memangkas aktifitas pemburu rente (rent-seekers) di sekitar wilayah pesisir yang senantiasa berupaya mengeksploitasi potensi kelautan secara berlebihan tanpa mengindahkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), hal ini menjadi penting dalam proses pemberdayaan potensi kelautan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat antargenerasi (intergenerational welfare).
Ketiga, mengontrol kualitas laut dengan melakukan penataan ruang laut-darat secara profesional dan terintegrasi (konsep dan strategi tata ruang laut akan diuraikan dalam tulisan tersendiri). Keempat, membangun sinergitas antar lembaga pemerintah dan swasta serta organisasi kemasyarakatan yang berkonsentrasi di bidang kelautan dalam mewujudkan konsep kelautan yang telah menjadi konsensus bersama. Kelima, dan ini merupakan faktor determinan dari keseluruhan langkah di atas, yaitu political will  pemerintah daerah dan legislatif dalam mengelola potensi kelautan dengan membuat kebijakan kelautan (ocean policy) yang lebih proporsional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar