Senin, 16 April 2012

Opini (Kaltim Pos)


PEMIMPIN LAHIR DARI SKENARIO KEKUATAN LANGIT
Oleh : Dr. Kasman eMKa



Jika Anda diperhadapkan pada opsi, ingin jadi siapa jika diberi kesempatan memilih :  jadi Soekarno, Gus Dur, Vladimir Putin, Hitler, atau lainnya? Jika Anda orang yang bijak dan mengerti hakekat hidup pastilah Anda menjawab ”saya ingin menjadi diri saya sendiri”. Mengapa? Selain karena yang demikian berada diluar kualitas kewajaran individual kita, juga perlu diingat bahwa seorang Soekarno kecil tidak pernah memplotkan diri sebelumnya untuk menjadi founding father’s negara RI. Pengangkatan Gus Dur menjadi Presiden RI pada tahun 1999 sangat fenomenal dan dianggap berada di luar logika politik para politisi saat itu, realitas ini sekaligus dianggap sebagai bentuk pembenaran dari teori politik Gus Dur yang meyakini bahwa politik merupakan sebuah ketidakpastian yang di dalamnya sarat dengan kekuatan-kekuatan gaib yang signifikan. Kemudian penunjukan Vladimir Putin secara tak terduga oleh Boris Yeltsin menjadi perdana menteri Rusia pada tahun 1999 menimbulkan kekejutan politik (political shock) yang luar biasa tidak hanya di Rusia tapi diseluruh belahan dunia saat itu, tidak kurang Majalah Mingguan News Week menulis ”Russia’s mystery Man” yang mengulas Putin sebagai sosok yang muncul dari balik kepekatan kabut..
Premis di atas menunjukkan bahwa determinasi pemimpin dan kepemimpinan didominasi oleh adanya fenomena transendental berupa representasi kekuatan langit yang terealisasi secara aksidental, sekaligus juga menunjukkan bahwa siapapun bisa jadi pemimpin selama kendali supranatural berpihak pada-nya, sehingga Anda tidak perlu memilih untuk jadi siapapun karena pamor dari tokoh-tokoh di atas mungkin saja tereliminasi oleh aurora kepemimpinan yang ”dimunculkan” pada diri Anda kelak.
Konteks ini hendaknya bisa menggugah objektifitas alam sadar seluruh komponen bangsa dalam menyikapi agenda kolosal bangsa selanjutnya, yakni pemilihan presidan dan wakil presiden 5 Juli 2004, dengan melapangkan hati menerima siapapun yang akan terpilih dalam pemilihan tersebut. Dan untuk pelaku politik hendaknya menyadari sepenuhnya bahwa perjuangan sekeras dan secerdas apapun yang ditempuh saat ini untuk mem-presiden-kan capresnya tidak lebih dari sebuah upaya mempertegas skenario dari kekuatan langit, dengan demikian pilpres yang akan datang bisa berjalan secara alami, bersih dan didasarkan pada keyakinan di atas langit ada langit.
Memilih Capres dan Cawapres
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemimpin meskipun merupakan hasil skenario yang maha adil, namun kenyataannya tidak jarang pemimpin yang keluar dari bingkai keadilan dan mengambil posisi oposisi terhadap nilai-nilai keadilan publik yang ada. Indikasi ini juga telah terdeteksi dalam proses pemilihan presiden RI yang akan datang, dimana hampir semua capres disinyalir melekat pada dirinya kekurangan demi kekurangan : Wiranto dengan kasus pelanggaran HAM-nya, Megawati dengan ketidakmampuan managerial-nya, SBY disinyalir di back up oleh Amerika, Amin Rais dengan ke-grudag-grudug-annya, Hamzah Has dengan kelemahan konseptual dan ketokohannya.
Terlepas dari benar tidaknya sinyalemen tersebut, namun kenyataan menunjukkan bahwa proses pemilihan presiden kita kali ini diawali oleh ditaburkannya genderang ketidakfairan pemain-pemain politik ditingkat elit baik langsung maupun tidak langsung dengan berupaya melakukan pembunuhan karakter (character Assasination) terhadap capres lain yang pada hakekatnya bisa menimbulkan preseden buruk bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara ke depan berupa munculnya akumulasi kejengkelan terhadap capres yang distigmatisasi tersebut. Mereka tidak sadar bahwa meskipun kekurangan capres di atas ditambah dengan segudang kekurangan dan sejuta keburukan lainnya, namun hal itu tidak akan mengurangi probablitasnya untuk terpilih menjadi pemimpin kita ke depan, karena semua itu akan kembali pada konsep yang terdefinisikan di atas.
Tulisan ini tentunya tidak bermaksud membuka wacana apatis dalam proses pemilihan presiden mendatang, tapi seyogianyalah kita menumbuhkan rasa sportifitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dalam mencapai target politik kita, dan sadar bahwa pemimpin yang akan terpilih kelak adalah orang pilihan dari penguasa langit yang harus kita terima dengan segala kekurangannya tentunya dengan memperhatikan mekanisme demokrasi yang kita sepakati.


Pemimpin adalah representasi dari rakyatnya
            Siapapun dan bagaimanapun kelak yang akan menjadi orang nomor satu di NKRI yang kita cintai ini, maka behaviour dan karakternya tidak jauh dari karakter sebagian besar rakyat Indonesia. Jika seandainya yang terpilih kemudian adalah seorang koruptor maka itu adalah gambaran bahwa atmosfir Indonesia saat ini masih didominasi oleh polutan koruptor, jika yang terpilih adalah seorang penjahat kemanuasiaan maka  yakinlah sebagian besar dalam dada mayoritas bangsa Indonesia telah kehilangan sense of humanity-nya, dan begitu seterusnya.
Karena itu dalam hal pemilihan capres, partisipasi politik kita diharapkan akan memberikan kontribusi dalam pemetaan menuju apa yang kita yakini nilai kebenarannya dan tentunya ini hanya akan tercapai dengan bersikap objektif, dan lebih mengedepankan hati nurani ketika menjatuhkan pilihan pada salah satu calon presiden.
Pemimpin yang Ideal
            Jika kekayaan alam Indonesia diplotkan dengan aspek historis sosio-economical masyarakat Indonesia yang mencitrakan ketidakmapanan sejak jaman orde lama, orde baru kemudian orde reformasi, maka kesimpulan yang umum dan paling logis untuk dilontarkan adalah ”itu adalah implikasi komulatif dari ketidakmampuan individual pemimpin kita dalam mengelola bangsa dan negara kita selama ini”.
Kesimpulan ini tentunya tidak semua benar, namun sangat berdasar manakala kita mencermati otoritas signifikan yang dimiliki oleh seorang pemimpin dalam menentukan arah perjalanan suatu bangsa. Dengan kata lain kualitas kolektif individual seorang pemimpin merupakan parameter mutlak terwujudnya suatu bangsa yang sejahtera dan bermartabat.
Kompleksitas persoalan yang sedang melilit bangsa ini, mulai dari hutang luar negeri yang sedemikian besarnya (economical problem), disintegrasi bangsa yang senantiasa mengancam (internal security), sampai kepada martabat dan kedaulatan bangsa yang mulai dinodai (international problems), hendaknya bisa menjadi bahan renungan bagi semua elemen bangsa untuk tidak gegabah menentukan sikap khususnya dalam memilih capres mendatang, karena ini akan menyangkut kolektifitas kualitas futuristik berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini warga negara Indonesia (termasuk capres yang akan dipilih) yang keliru dalam memilih presiden mendatang berarti turut memberi kontribusi negatif terhadap kehidupan berbangsa secara keseluruhan.
Menyadari peran pemimpin yang sedemikian sentralnya, tentunya kita merindukan pemimpin yang ideal (meminjam istilah Iwan Fals : manusia setengah dewa) untuk menahkodai bangsa ini kedepan. Dalam konteks pemilihan pemimpin nasional, ada beberapa variabel mutlak yang harus dimiliki seorang  presiden mendatang : pertama, mempunyai kualitas intelektual dan wawasan yang luas. Walaupun dalam mengeluarkan kebijakan seorang presiden di bantu oleh para menteri-menterinya namun sensitifitas intelektual dan keluasan wawasannya sangat menentukan proses dan bentuk kebijakan yang akan dihasilkan. kedua, mempunyai sifat amanah dan berani. Masih gentayangannya koruptor, indikasi munculnya kembali pola militeristik, penegakan hukum yang tidak tegas, merupakan bentuk pengkhianatan terhadap agenda reformasi yang telah disepakati, karena itu kedepan kita butuh pemimpin yang berani mengemban amanah reformasi bagaimanapun berat dan tantangannya. ketiga, memiliki kesabaran yang telah teruji dan tidak banyak terlibat dalam konstalasi politik masa lalu, hal ini menjadi penting mengingat gerakan-gerakan anti kemapanan akan senantiasa  merapatkan barisan untuk menjagal agenda reformasi dengan menghalalkan segala cara, karena itu pemimpin yang akan datang harus sabar menghadapi godaan material dan siap teralienasi dari pergaulan penguasa masa lalu.
Yang jadi pertanyaan sekarang adakah diantara 5 figur di atas yang memenuhi atau minimal mendekati syarat-syarat tersebut? Jawabannya tentu sudah ada dalam hati nurani kita masing-masing!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar