PEMIMPIN LAHIR DARI SKENARIO KEKUATAN LANGIT
Oleh : Dr. Kasman eMKa
Jika Anda diperhadapkan pada opsi, ingin
jadi siapa jika diberi kesempatan memilih :
jadi Soekarno, Gus Dur, Vladimir Putin, Hitler, atau lainnya? Jika Anda
orang yang bijak dan mengerti hakekat hidup pastilah Anda menjawab ”saya ingin
menjadi diri saya sendiri”. Mengapa? Selain karena yang demikian berada diluar
kualitas kewajaran individual kita, juga perlu diingat bahwa seorang Soekarno
kecil tidak pernah memplotkan diri sebelumnya untuk menjadi founding father’s
negara RI. Pengangkatan Gus Dur menjadi Presiden RI pada tahun 1999 sangat
fenomenal dan dianggap berada di luar logika politik para politisi saat itu, realitas
ini sekaligus dianggap sebagai bentuk pembenaran dari teori politik Gus Dur
yang meyakini bahwa politik merupakan sebuah ketidakpastian yang di dalamnya
sarat dengan kekuatan-kekuatan gaib yang signifikan. Kemudian penunjukan
Vladimir Putin secara tak terduga oleh Boris Yeltsin menjadi perdana menteri
Rusia pada tahun 1999 menimbulkan kekejutan politik (political shock) yang luar biasa tidak hanya di Rusia tapi
diseluruh belahan dunia saat itu, tidak kurang Majalah Mingguan News Week
menulis ”Russia’s mystery Man” yang
mengulas Putin sebagai sosok yang muncul dari balik kepekatan kabut..
Premis di atas menunjukkan bahwa
determinasi pemimpin dan kepemimpinan didominasi oleh adanya fenomena
transendental berupa representasi kekuatan langit yang terealisasi secara
aksidental, sekaligus juga menunjukkan bahwa siapapun bisa jadi pemimpin selama
kendali supranatural berpihak pada-nya, sehingga Anda tidak perlu memilih untuk
jadi siapapun karena pamor dari tokoh-tokoh di atas mungkin saja tereliminasi
oleh aurora kepemimpinan yang ”dimunculkan”
pada diri Anda kelak.
Konteks ini hendaknya bisa menggugah
objektifitas alam sadar seluruh komponen bangsa dalam menyikapi agenda kolosal bangsa
selanjutnya, yakni pemilihan presidan dan wakil presiden 5 Juli 2004, dengan
melapangkan hati menerima siapapun yang akan terpilih dalam pemilihan tersebut.
Dan untuk pelaku politik hendaknya menyadari sepenuhnya bahwa perjuangan
sekeras dan secerdas apapun yang ditempuh saat ini untuk mem-presiden-kan capresnya tidak lebih dari
sebuah upaya mempertegas skenario dari kekuatan langit, dengan demikian pilpres
yang akan datang bisa berjalan secara alami, bersih dan didasarkan pada
keyakinan di atas langit ada langit.
Memilih Capres dan Cawapres
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemimpin
meskipun merupakan hasil skenario yang maha adil, namun kenyataannya tidak
jarang pemimpin yang keluar dari bingkai keadilan dan mengambil posisi oposisi
terhadap nilai-nilai keadilan publik yang ada. Indikasi ini juga telah
terdeteksi dalam proses pemilihan presiden RI yang akan datang, dimana hampir
semua capres disinyalir melekat pada dirinya kekurangan demi kekurangan :
Wiranto dengan kasus pelanggaran HAM-nya,
Megawati dengan ketidakmampuan managerial-nya,
SBY disinyalir di back up oleh
Amerika, Amin Rais dengan ke-grudag-grudug-annya,
Hamzah Has dengan kelemahan konseptual
dan ketokohannya.
Terlepas dari benar tidaknya sinyalemen
tersebut, namun kenyataan menunjukkan bahwa proses pemilihan presiden kita kali
ini diawali oleh ditaburkannya genderang ketidakfairan pemain-pemain politik
ditingkat elit baik langsung maupun tidak langsung dengan berupaya melakukan
pembunuhan karakter (character
Assasination) terhadap capres lain yang pada hakekatnya bisa menimbulkan
preseden buruk bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara ke depan berupa
munculnya akumulasi kejengkelan terhadap capres yang distigmatisasi tersebut. Mereka
tidak sadar bahwa meskipun kekurangan capres di atas ditambah dengan segudang
kekurangan dan sejuta keburukan lainnya, namun hal itu tidak akan mengurangi
probablitasnya untuk terpilih menjadi pemimpin kita ke depan, karena semua itu
akan kembali pada konsep yang terdefinisikan di atas.
Tulisan ini tentunya tidak bermaksud
membuka wacana apatis dalam proses pemilihan presiden mendatang, tapi seyogianyalah
kita menumbuhkan rasa sportifitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dalam
mencapai target politik kita, dan sadar bahwa pemimpin yang akan terpilih kelak
adalah orang pilihan dari penguasa langit yang harus kita terima dengan segala
kekurangannya tentunya dengan memperhatikan mekanisme demokrasi yang kita
sepakati.
Pemimpin adalah representasi
dari rakyatnya
Siapapun dan bagaimanapun kelak yang akan menjadi
orang nomor satu di NKRI yang kita cintai ini, maka behaviour dan karakternya tidak jauh dari karakter sebagian besar rakyat
Indonesia. Jika seandainya yang terpilih kemudian adalah seorang koruptor maka
itu adalah gambaran bahwa atmosfir Indonesia saat ini masih didominasi oleh
polutan koruptor, jika yang terpilih adalah seorang penjahat kemanuasiaan
maka yakinlah sebagian besar dalam dada
mayoritas bangsa Indonesia telah kehilangan sense
of humanity-nya, dan begitu seterusnya.
Karena itu dalam hal pemilihan capres, partisipasi
politik kita diharapkan akan memberikan kontribusi dalam pemetaan menuju apa
yang kita yakini nilai kebenarannya dan tentunya ini hanya akan tercapai dengan
bersikap objektif, dan lebih mengedepankan hati nurani ketika menjatuhkan
pilihan pada salah satu calon presiden.
Pemimpin yang Ideal
Jika
kekayaan alam Indonesia diplotkan dengan aspek historis sosio-economical masyarakat Indonesia yang mencitrakan ketidakmapanan
sejak jaman orde lama, orde baru kemudian orde reformasi, maka kesimpulan yang umum
dan paling logis untuk dilontarkan adalah ”itu adalah implikasi komulatif dari
ketidakmampuan individual pemimpin kita dalam mengelola bangsa dan negara kita
selama ini”.
Kesimpulan ini tentunya tidak semua benar,
namun sangat berdasar manakala kita mencermati otoritas signifikan yang
dimiliki oleh seorang pemimpin dalam menentukan arah perjalanan suatu bangsa.
Dengan kata lain kualitas kolektif individual seorang pemimpin merupakan
parameter mutlak terwujudnya suatu bangsa yang sejahtera dan bermartabat.
Kompleksitas persoalan yang sedang melilit
bangsa ini, mulai dari hutang luar negeri yang sedemikian besarnya (economical problem), disintegrasi bangsa
yang senantiasa mengancam (internal
security), sampai kepada martabat dan kedaulatan bangsa yang mulai dinodai
(international problems), hendaknya
bisa menjadi bahan renungan bagi semua elemen bangsa untuk tidak gegabah menentukan
sikap khususnya dalam memilih capres mendatang, karena ini akan menyangkut
kolektifitas kualitas futuristik berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini
warga negara Indonesia (termasuk capres
yang akan dipilih) yang keliru dalam memilih presiden mendatang berarti turut memberi kontribusi negatif
terhadap kehidupan berbangsa secara keseluruhan.
Menyadari peran pemimpin yang sedemikian
sentralnya, tentunya kita merindukan pemimpin yang ideal (meminjam istilah Iwan
Fals : manusia setengah dewa) untuk menahkodai
bangsa ini kedepan. Dalam konteks pemilihan pemimpin nasional, ada beberapa variabel
mutlak yang harus dimiliki seorang presiden
mendatang : pertama, mempunyai kualitas
intelektual dan wawasan yang luas. Walaupun dalam mengeluarkan kebijakan seorang
presiden di bantu oleh para menteri-menterinya namun sensitifitas intelektual
dan keluasan wawasannya sangat menentukan proses dan bentuk kebijakan yang akan
dihasilkan. kedua, mempunyai sifat
amanah dan berani. Masih gentayangannya koruptor, indikasi munculnya kembali
pola militeristik, penegakan hukum yang tidak tegas, merupakan bentuk
pengkhianatan terhadap agenda reformasi yang telah disepakati, karena itu kedepan
kita butuh pemimpin yang berani mengemban amanah reformasi bagaimanapun berat
dan tantangannya. ketiga, memiliki kesabaran
yang telah teruji dan tidak banyak terlibat dalam konstalasi politik masa lalu,
hal ini menjadi penting mengingat gerakan-gerakan anti kemapanan akan senantiasa
merapatkan barisan untuk menjagal agenda
reformasi dengan menghalalkan segala cara, karena itu pemimpin yang akan datang
harus sabar menghadapi godaan material dan siap teralienasi dari pergaulan penguasa
masa lalu.
Yang jadi pertanyaan sekarang adakah
diantara 5 figur di atas yang memenuhi atau minimal mendekati syarat-syarat
tersebut? Jawabannya tentu sudah ada dalam hati nurani kita
masing-masing!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar