OCEAN POLICY
PEMERINTAH KALTIM DI ERA OTONOMI DAERAH
Oleh : Kasman eM.Ka
(Mahasiswa Pasca Sarjana
Institut Teknologi Bandung - jurusan Oseanografi)
Ekspektasi masyarakat pesisir Kalimantan
Timur untuk segera memposisikan diri secara sejajar dengan masyarakat daratan
dalam konteks pencapaian kualitas hidup yang layak mulai diretas sejak
diberlakukannya konsep otonomi daerah dengan diundangkannya beberapa UU yang
didalamnya memuat sentimen-sentimen pembangunan kelautan diantaranya
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang mengatur kewenangan provinsi dalam
pengelolaan wilayah laut dalam batasan 12 mil yang diukur dari garis pantai
kearah laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan serta UU No. 25 Tahun 1999
tentang pembagian alokasi pendapatan antara pemerintah pusat dan daerah yang
berasal dari pemanfaatan SDA termasuk sumber daya pesisir dan laut (pasal 6 ayat 5)
Harapan
ini menjadi sangat wajar mengingat secara geografis luas wilayah laut
Kalimantan Timur mencapai 9.800.000 Ha dengan panjang garis pantai 1.185 km
yang terbentang dari Kabupaten Pasir di selatan sampai Kabupaten Nunukan di
utara, laut Kaltim sebagian besar terdiri dari laut dengan kedalaman 200 – 1000
m, suatu kondisi yang sangat produktif untuk pengembangan biodiversity jika dilihat dari morfologinya. Selain itu populasi
penduduk yang sebagian besar bermukim dan menggantungkan hidup dengan merambah
wilayah pesisir, merupakan asset yang tak ternilai harganya.
Instrumen-instrumen
ini dianggap oleh masyarakat pesisir dapat menjadi motifasi factual bagi pemerintah
daerah untuk memberi perhatian yang lebih serius dalam mengkaji dan mengolah
potensi kelautan daerah dengan merumuskan kebijakan kelautan (ocean policy) yang jelas dan tegas menuju
terwujudnya pemerataan kesejahteraan rakyat diseluruh wilayah Kaltim, khususnya
wilayah pesisir yang selama ini termarjinalkan .
Ironisnya
ekspektasi tersebut masih harus menggelantung di langit impian masyarakat
marjinal ini, mengingat sector kelautan yang didefinisikan sebagai sektor
perikanan, pariwisata bahari, bangunan kelautan, dan jasa kelautan dewasa ini masih
ditempatkan sebagai sektor pinggiran (peripheral
sector) dalam kebijakan-kebijakan makro pembangunan daerah. Adapun program
prioritas pembangunan pemerintah Kaltim 2001-2005 yang diatur dalam perda
program pembangunan daerah adalah : 1) Program Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), 2) Program
Pengembangan Infrastruktur, 3) Program Pembangunan Pertanian
Pemandangan
ini menimbulkan implikasi langsung maupun tidak langsung terhadap terciptanya
kemiskinan yang akut di wilayah pesisir Kaltim, sehingga tidaklah berlebihan
bila ocean policy pemerintah daerah saat
ini diklaim sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap nilai kemanusiaan di
mana hak-hak rakyat banyak untuk memperoleh penghidupan yang layak terabaikan.
Resistensi
Pembangunan Wilayah Pesisir
Masalah
yang dihadapi dalam upaya membangun wilayah pesisir senantiasa terbentur pada kebijakan
kelautan (ocean policy) pemerintah dan
aspek sosio-cultural yang melekat
pada masyarakat itu sendiri, yang bisa diuraikan menjadi : Pertama, paradigma pembangunan pemerintah Kaltim sangat
hegemonistik daratan dan menempatkan laut dalam posisi tidak populer dan termarjinalkan.
Kebijakan ini disadari lebih banyak diilhami oleh euphoria terhadap potensi kekayaan alam yang melimpah dan
terdistribusi dihampir seluruh wilayah
daratan Kaltim. Dalam konsep otonomi daerah jelas kebijakan ini sangat kontra
produktif dan kurang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian
rakyat terutama di wilayah pesisir dan sekaligus juga menunjukkan bahwa
pemerintah tidak mempunyai konsep pembangunan yang menyeluruh (holistic) serta kurangnya keberpihakan
terhadap masyarakat marjinal.
Kedua, Selama masa pemerintahan orde
baru lautan tidak pernah diikutkan dalam mainstream
pembangunan baik Nasional maupun daerah, sehingga biasnya sampai sekarang, menempatkan
potensi kelautan berada pada posisi
bargaining yang lemah, akibatnya kajian dalam bidang kelautan sangat jarang
disentuh baik oleh pembuat kebijakan (policy
maker) maupun oleh para aktor gerakan masyarakat civil (seperti LSM) di daerah.
Realitas ini semakin jelas terlihat pada masa kampanye Pemilihan Umum 11 Maret
sampai 1 April 2004 lalu, di mana tak satupun partai peserta pemilu yang
mengangkat masalah-masalah kelautan sebagai isu sentral dalam pemaparan visi
dan misi partai. Ketiga, masyarakat
yang bermukim di wilayah pesisir memiliki karakteristik dan dinamika yang khas
terutama aspek psikologis dan cultural masyarakat serta pengetahuan local (indigenous knowledge) dan
tradisi-tradisi lokal, sehingga agak sulit untuk merumuskan suatu konsep baku dalam menangani masalah-masalah
yang timbul.
Konsep Pembangunan Pesisir
Paling tidak ada lima materi
pokok yang harus diprioritaskan dalam pengelolaan wilayah pesisir Kaltim guna mengangkat
kualitas hidup masyarakat di sekitarnya : Pertama,
Peningkatan SDM yang handal dan penerapan teknologi tepat guna di wilayah
pesisir. Hasil penelitian mengenai identifikasi faktor-faktor yang berperan
dalam pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa peningkataan SDM menyumbang
sebanyak 16 %, penerapan teknologi 34 %, akumulasi capital investasi 12%,
alokasi sumber daya yang efisien 11 %, skala ekonomi 11 % sisanya adalah
penggunaan input secara tepat (market
based approach). Peningkatan kualitas SDM untuk pembangunan wilayah pesisir
dapat dicapai diantaranya dengan : a) mengembangkan kapasitas aparat
pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi laut, sistem informasi sumber
daya alam dan lingkungan hidup wilayah pesisir b) meningkatkan
kapasitas masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
hidup secara berkelanjutan. c) memasukkan
pelajaran kurikulum kelautan pada sekolah dasar sampai sekolah lanjutan atas di
daerah-daerah. Kedua, Peningkatan
investasi secara profesional dan selektif dibidang kelautan dengan mengidentifikasi
dan menganalisis stakeholder, yaitu semua
yang terlibat di dalam proses, atau permasalahan yang sudah dirumuskan
batas-batasnya. Dalam tataran ini pihak yang kompeten (pemerintah) harus mampu memahami persepsi dan sistem komunikasi
stakeholder dengan mempelajari kegiatan mereka dan mengamati dampak yang
ditimbulkannya serta melakukan pembicaraan dengan individu-individu yang
terlibat. Upaya ini dimaksudkan untuk memangkas aktifitas pemburu rente (rent-seekers) di sekitar wilayah pesisir
yang senantiasa berupaya mengeksploitasi potensi kelautan secara berlebihan
tanpa mengindahkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), hal ini menjadi penting dalam proses
pemberdayaan potensi kelautan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat
antargenerasi (intergenerational welfare).
Ketiga, Mengontrol kualitas
laut dalam pengertian global. Dalam kajian teoretis (theoretical approach) eksistensi perusahaan-perusahaan besar yang
beroperasi di wilayah pesisir Kaltim memberi asumsi akan menimbulkan dampak
serius bagi kualitas kolektif pesisir terutama terhadap lingkungan (saat ini penulis dalam proses pemodelan
sebaran polutan di wilayah pesisir Kaltim). Adalah penting dipahami bahwa perusahaan
yang membuang limbah ke laut baik berupa bahan kimia (chemical content, misalnya tumpahan minyak atau logam-logam berat)
maupun pencemaran fisis (misalnya,
buangan limbah panas) baik langsung maupun tidak langsung tanpa
memperhatikan aspek lingkungan berarti pihak perusahaan harus bertanggung jawab
atas kontribusinya terhadap hancurnya sendi-sendi perekonomian dan masa depan masyarakat
pesisir. Dalam konteks ini control dari segenap masyarakat menjadi sangat
penting disamping upaya sosialisasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 19 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut juga
harus gencar disuarakan oleh pemerhati masalah laut. Keempat, Membangun sinergitas antar lembaga pemerintahan dan swasta
serta organisasi kemasyarakatan yang berkonsentrasi di bidang ini dalam mewujudkan
konsep kelautan yang telah menjadi konsensus bersama. Kelima, dan ini merupakan main
factor dari keseluruhan langkah di atas, yaitu kemauan politik (political will) pemerintah dan
legislative dalam mengelola potensi kelautan dengan membuat kebijakan kelautan
(ocean policy) yang lebih
proporsional.
Paradigma pembangunan yang hegemoni darat dan cenderung meninggalkan laut
yang diimplementasikan oleh pemerintah Kaltim, saat ini masih mampu mengelabui
wilayah sadar mayoritas masyarakat kaltim, tapi 10 – 20 tahun mendatang kelak proses
pengelabuan itu akan menuai hujatan dan makian dari generasi penerus di wilayah
ini, mengingat sumber daya alam yang kini dibangga-banggakan merupakan kekayaan
alam yang tidak dapat diperbaharui (irrecoverable)
dan akan mengalami titik kritis dan di saat itulah tingkat kesulitan hidup akan
semakin terasa. Tapi, 10 – 20 tahun mendatang adalah waktu yang terlalu lama
untuk menggugat dan menghujat saya! Mungkin itulah yang ada dalam benak decision maker kita saat ini, benar ngak
pak!
day� ` a
p2 / kungan hidup secara berkelanjutan. c)
memasukkan pelajaran kurikulum kelautan pada sekolah dasar sampai sekolah
lanjutan atas di daerah-daerah.
Kedua, melakukan kampanye dan promosi potensi
kelautan Sulbar secara profesional dalam rangka menarik investor dengan
mengidentifikasi dan menganalisis semua stakeholder
yang terlibat di dalam proses, atau permasalahan yang sudah dirumuskan batasan-batasannya.
Dalam tataran ini pihak yang kompeten (pemerintah)
harus mampu memahami persepsi dan sistem komunikasi stakeholder dengan
mempelajari kegiatan mereka dan mengamati dampak yang ditimbulkannya serta
melakukan pembicaraan dengan individu-individu yang terlibat. Upaya ini
dimaksudkan untuk memangkas aktifitas pemburu rente (rent-seekers) di sekitar wilayah pesisir yang senantiasa berupaya
mengeksploitasi potensi kelautan secara berlebihan tanpa mengindahkan konsep
pembangunan berkelanjutan (sustainable
development), hal ini menjadi penting dalam proses pemberdayaan potensi
kelautan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat antargenerasi (intergenerational welfare).
Ketiga, mengontrol kualitas laut dengan
melakukan penataan ruang laut-darat secara profesional dan terintegrasi (konsep
dan strategi tata ruang laut akan diuraikan dalam tulisan tersendiri). Keempat, membangun sinergitas antar
lembaga pemerintah dan swasta serta organisasi kemasyarakatan yang
berkonsentrasi di bidang kelautan dalam mewujudkan konsep kelautan yang telah
menjadi konsensus bersama. Kelima,
dan ini merupakan faktor determinan dari keseluruhan langkah di atas, yaitu political will pemerintah daerah dan legislatif dalam
mengelola potensi kelautan dengan membuat kebijakan kelautan (ocean policy) yang lebih proporsional.
What is the Best Casino Site? - Lucky Club Live
BalasHapusThe online casinos you will enjoy are called Slots.lv; their slot games are a collection of a variety of games and you can play over hundreds of them online and luckyclub.live