Senin, 16 April 2012

Opini (Kaltim Pos)


OCEAN POLICY PEMERINTAH KALTIM DI ERA OTONOMI DAERAH
Oleh : Kasman eM.Ka
(Mahasiswa Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung - jurusan Oseanografi)

Ekspektasi masyarakat pesisir Kalimantan Timur untuk segera memposisikan diri secara sejajar dengan masyarakat daratan dalam konteks pencapaian kualitas hidup yang layak mulai diretas sejak diberlakukannya konsep otonomi daerah dengan diundangkannya beberapa UU yang didalamnya memuat sentimen-sentimen pembangunan kelautan diantaranya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang mengatur kewenangan provinsi dalam pengelolaan wilayah laut dalam batasan 12 mil yang diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan serta UU No. 25 Tahun 1999 tentang pembagian alokasi pendapatan antara pemerintah pusat dan daerah yang berasal dari pemanfaatan SDA termasuk sumber daya pesisir dan laut (pasal 6 ayat 5)
Harapan ini menjadi sangat wajar mengingat secara geografis luas wilayah laut Kalimantan Timur mencapai 9.800.000 Ha dengan panjang garis pantai 1.185 km yang terbentang dari Kabupaten Pasir di selatan sampai Kabupaten Nunukan di utara, laut Kaltim sebagian besar terdiri dari laut dengan kedalaman 200 – 1000 m, suatu kondisi yang sangat produktif untuk pengembangan biodiversity jika dilihat dari morfologinya. Selain itu populasi penduduk yang sebagian besar bermukim dan menggantungkan hidup dengan merambah wilayah pesisir, merupakan asset yang tak ternilai harganya.
Instrumen-instrumen ini dianggap oleh masyarakat pesisir dapat menjadi motifasi factual bagi pemerintah daerah untuk memberi perhatian yang lebih serius dalam mengkaji dan mengolah potensi kelautan daerah dengan merumuskan kebijakan kelautan (ocean policy) yang jelas dan tegas menuju terwujudnya pemerataan kesejahteraan rakyat diseluruh wilayah Kaltim, khususnya wilayah pesisir yang selama ini termarjinalkan .  
Ironisnya ekspektasi tersebut masih harus menggelantung di langit impian masyarakat marjinal ini, mengingat sector kelautan yang didefinisikan sebagai sektor perikanan, pariwisata bahari, bangunan kelautan, dan jasa kelautan dewasa ini masih ditempatkan sebagai sektor pinggiran (peripheral sector) dalam kebijakan-kebijakan makro pembangunan daerah. Adapun program prioritas pembangunan pemerintah Kaltim 2001-2005 yang diatur dalam perda program pembangunan daerah adalah : 1) Program Pengembangan  Sumber Daya Manusia (SDM), 2) Program Pengembangan Infrastruktur, 3) Program Pembangunan Pertanian
Pemandangan ini menimbulkan implikasi langsung maupun tidak langsung terhadap terciptanya kemiskinan yang akut di wilayah pesisir Kaltim, sehingga tidaklah berlebihan bila ocean policy pemerintah daerah saat ini diklaim sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap nilai kemanusiaan di mana hak-hak rakyat banyak untuk memperoleh penghidupan yang layak terabaikan.
Resistensi Pembangunan Wilayah Pesisir
Masalah yang dihadapi dalam upaya membangun wilayah pesisir senantiasa terbentur pada kebijakan kelautan (ocean policy) pemerintah dan aspek sosio-cultural yang melekat pada masyarakat itu sendiri, yang bisa diuraikan menjadi : Pertama, paradigma pembangunan pemerintah Kaltim sangat hegemonistik daratan dan menempatkan laut dalam posisi tidak populer dan termarjinalkan. Kebijakan ini disadari lebih banyak diilhami oleh euphoria terhadap potensi kekayaan alam yang melimpah dan terdistribusi dihampir seluruh  wilayah daratan Kaltim. Dalam konsep otonomi daerah jelas kebijakan ini sangat kontra produktif dan kurang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian rakyat terutama di wilayah pesisir dan sekaligus juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak mempunyai konsep pembangunan yang menyeluruh (holistic) serta kurangnya keberpihakan terhadap masyarakat marjinal.
Kedua, Selama masa pemerintahan orde baru lautan tidak pernah diikutkan dalam mainstream pembangunan baik Nasional maupun daerah, sehingga biasnya sampai sekarang, menempatkan potensi kelautan berada pada posisi bargaining yang lemah, akibatnya kajian dalam bidang kelautan sangat jarang disentuh baik oleh pembuat kebijakan (policy maker) maupun oleh para aktor gerakan masyarakat civil (seperti LSM) di daerah. Realitas ini semakin jelas terlihat pada masa kampanye Pemilihan Umum 11 Maret sampai 1 April 2004 lalu, di mana tak satupun partai peserta pemilu yang mengangkat masalah-masalah kelautan sebagai isu sentral dalam pemaparan visi dan misi partai. Ketiga, masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir memiliki karakteristik dan dinamika yang khas terutama aspek psikologis dan cultural masyarakat serta pengetahuan local (indigenous knowledge) dan tradisi-tradisi lokal, sehingga agak sulit untuk merumuskan suatu konsep baku dalam menangani masalah-masalah yang timbul.
Konsep Pembangunan Pesisir
Paling tidak ada lima materi pokok yang harus diprioritaskan dalam pengelolaan wilayah pesisir Kaltim guna mengangkat kualitas hidup masyarakat di sekitarnya : Pertama, Peningkatan SDM yang handal dan penerapan teknologi tepat guna di wilayah pesisir. Hasil penelitian mengenai identifikasi faktor-faktor yang berperan dalam pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa peningkataan SDM menyumbang sebanyak 16 %, penerapan teknologi 34 %, akumulasi capital investasi 12%, alokasi sumber daya yang efisien 11 %, skala ekonomi 11 % sisanya adalah penggunaan input secara tepat (market based approach). Peningkatan kualitas SDM untuk pembangunan wilayah pesisir dapat dicapai  diantaranya dengan : a) mengembangkan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi laut, sistem informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup wilayah pesisir  b) meningkatkan kapasitas masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan. c) memasukkan pelajaran kurikulum kelautan pada sekolah dasar sampai sekolah lanjutan atas di daerah-daerah. Kedua, Peningkatan investasi secara profesional dan selektif dibidang kelautan dengan mengidentifikasi dan menganalisis stakeholder, yaitu semua yang terlibat di dalam proses, atau permasalahan yang sudah dirumuskan batas-batasnya. Dalam tataran ini pihak yang kompeten (pemerintah) harus mampu memahami persepsi dan sistem komunikasi stakeholder dengan mempelajari kegiatan mereka dan mengamati dampak yang ditimbulkannya serta melakukan pembicaraan dengan individu-individu yang terlibat. Upaya ini dimaksudkan untuk memangkas aktifitas pemburu rente (rent-seekers) di sekitar wilayah pesisir yang senantiasa berupaya mengeksploitasi potensi kelautan secara berlebihan tanpa mengindahkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), hal ini menjadi penting dalam proses pemberdayaan potensi kelautan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat antargenerasi (intergenerational welfare).
Ketiga, Mengontrol kualitas laut dalam pengertian global. Dalam kajian teoretis (theoretical approach) eksistensi perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di wilayah pesisir Kaltim memberi asumsi akan menimbulkan dampak serius bagi kualitas kolektif pesisir terutama terhadap lingkungan (saat ini penulis dalam proses pemodelan sebaran polutan di wilayah pesisir Kaltim). Adalah penting dipahami bahwa perusahaan yang membuang limbah ke laut baik berupa bahan kimia (chemical content, misalnya tumpahan minyak atau logam-logam berat) maupun pencemaran fisis (misalnya, buangan limbah panas) baik langsung maupun tidak langsung tanpa memperhatikan aspek lingkungan berarti pihak perusahaan harus bertanggung jawab atas kontribusinya terhadap hancurnya sendi-sendi perekonomian dan masa depan masyarakat pesisir. Dalam konteks ini control dari segenap masyarakat menjadi sangat penting disamping upaya sosialisasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut juga harus gencar disuarakan oleh pemerhati masalah laut. Keempat, Membangun sinergitas antar lembaga pemerintahan dan swasta serta organisasi kemasyarakatan yang berkonsentrasi di bidang ini dalam mewujudkan konsep kelautan yang telah menjadi konsensus bersama. Kelima, dan ini merupakan main factor dari keseluruhan langkah di atas, yaitu kemauan politik (political will) pemerintah dan legislative dalam mengelola potensi kelautan dengan membuat kebijakan kelautan (ocean policy) yang lebih proporsional.
Paradigma pembangunan yang hegemoni darat dan cenderung meninggalkan laut yang diimplementasikan oleh pemerintah Kaltim, saat ini masih mampu mengelabui wilayah sadar mayoritas masyarakat kaltim, tapi 10 – 20 tahun mendatang kelak proses pengelabuan itu akan menuai hujatan dan makian dari generasi penerus di wilayah ini, mengingat sumber daya alam yang kini dibangga-banggakan merupakan kekayaan alam yang tidak dapat diperbaharui (irrecoverable) dan akan mengalami titik kritis dan di saat itulah tingkat kesulitan hidup akan semakin terasa. Tapi, 10 – 20 tahun mendatang adalah waktu yang terlalu lama untuk menggugat dan menghujat saya! Mungkin itulah yang ada dalam benak decision maker kita saat ini, benar ngak pak!
day� ` a p2 / kungan hidup secara berkelanjutan. c) memasukkan pelajaran kurikulum kelautan pada sekolah dasar sampai sekolah lanjutan atas di daerah-daerah.
Kedua, melakukan kampanye dan promosi potensi kelautan Sulbar secara profesional dalam rangka menarik investor dengan mengidentifikasi dan menganalisis semua stakeholder yang terlibat di dalam proses, atau permasalahan yang sudah dirumuskan batasan-batasannya. Dalam tataran ini pihak yang kompeten (pemerintah) harus mampu memahami persepsi dan sistem komunikasi stakeholder dengan mempelajari kegiatan mereka dan mengamati dampak yang ditimbulkannya serta melakukan pembicaraan dengan individu-individu yang terlibat. Upaya ini dimaksudkan untuk memangkas aktifitas pemburu rente (rent-seekers) di sekitar wilayah pesisir yang senantiasa berupaya mengeksploitasi potensi kelautan secara berlebihan tanpa mengindahkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), hal ini menjadi penting dalam proses pemberdayaan potensi kelautan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat antargenerasi (intergenerational welfare).
Ketiga, mengontrol kualitas laut dengan melakukan penataan ruang laut-darat secara profesional dan terintegrasi (konsep dan strategi tata ruang laut akan diuraikan dalam tulisan tersendiri). Keempat, membangun sinergitas antar lembaga pemerintah dan swasta serta organisasi kemasyarakatan yang berkonsentrasi di bidang kelautan dalam mewujudkan konsep kelautan yang telah menjadi konsensus bersama. Kelima, dan ini merupakan faktor determinan dari keseluruhan langkah di atas, yaitu political will  pemerintah daerah dan legislatif dalam mengelola potensi kelautan dengan membuat kebijakan kelautan (ocean policy) yang lebih proporsional.

1 komentar:

  1. What is the Best Casino Site? - Lucky Club Live
    The online casinos you will enjoy are called Slots.lv; their slot games are a collection of a variety of games and you can play over hundreds of them online and luckyclub.live

    BalasHapus