Rabu, 18 April 2012

Opini (Bontang Banjir, Salah Siapa?)


BONTANG BANJIR, SALAH SIAPA?
Dr. Kasman eMKa

Banjir di Kota Bontang sudah menjadi agenda tahunan. Agenda alam yang kemudian menimbulkan polemik berkepanjangan diantara orang-orang cerdas dan yang merasa diri cerdas. Banjir bukanlah sesuatu yang harus diperdebatkan sampai menyita waktu dan materi tapi harus diatasi dengan melakukan tindakan konkrit tanpa mengkambinghitamkan salah satu pihak. Banjir merupakan gejala alam maka bahaslah dengan kajian alamiah pula dan kalau memang ada yang harus disalahkan mari kita salahkan karena ketidakberpihakan mereka terhadap keseimbangan alam.
Sebagaimana banjir di kebanyakan daerah, banjir di Kota Bontang terjadi akibat luapan air sungai. Dikatakan meluap karena ‘kondisi sungai’ tidak mampu mengalirkan air ke laut (pesisir) wal hasil air tersebut tumpah ruah ke darat dan terjadilah apa yang kita sebut banjir.
Sebenarnya banjir di kota Bontang dapat dilihat dalam perspektif konsep Tata Ruang DAS-Wilayah Pesisir Terpadu yang di dalamnya ada dua informasi yang harus dikaji, yaitu : (1) informasi ditingkat daerah tangkapan air dan (2) di tingkat daerah hilir (pesisir).
DAS yang terkait dengan wilayah pesisir disebut juga coastal watershed. Pusat-pusat pemukiman perkotaan yang berada dalam wilayah coastal watershed ini cenderung rawan terhadap bencana banjir pada saat curah hujan tinggi yang pada saat bersamaan air laut mengalami pasang (pasut tinggi), kondisi ini menyebabkan outlet sungai tidak mampu mengalirkan air ke laut dan melimpah keluar alurnya (banjir). Ini adalah salah satu dampak interaksi antara daratan dan lautan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di tingkat hulu (daerah tangkapan air) sampai ke hilir dalam perjalanan air ke outlet, antara lain :
(1)         Ketika sungai mengalir melalui lahan pertanian, sungai akan menampung limpahan air hujan yang jatuh di lahan pertanian dan mengalir ke sungai yang membawa residu dari pupuk, pestisida serta senyawa kotoran hewan. Pencemaran dari sumber suatu area” (non-point sources)
(2)         Ketika sungai mengalir melalui lahan perumahan, perkotaan dan industri, air sungai menerima limbah cair dan padat yang kadang toksik (beracun) melalui drainase perkotaan, perumahan dan perindustrian, yang umumnya disebut limbah domestic, dan dikategorikan sebagai “pencemaran dari sumber yang jelas” (point sources)
(3)         Ketika sungai mengalir melalui lahan terbuka, lading/perkebunan dan penggunaan lahan yang tidak lestari atau penggundulan hutan, maka air sungai menerima masukan bahan-bahan kikisan hara dan tanah berupa lumpur serta mengalir dan mengendapkannya di suatu titik dalam perjalanannya sebagai bahan sedimentasi, sehingga aluran air menjadi menyempit.
Untuk kasus Banjir di Kota Bontang, penulis beranggapan bahwa penyebab utama banjir di Kota ini lebih banyak disebabkan oleh semakin parahnya kondisi sebagian besar badan sungai serta coastal watershed yang secara kontinu mengalami pendangkalan oleh adanya transpor sedimen dari sekitar wilayah sungai dan kemudian masuk ke badan air. Berdasarkan kajian ditemukan bahwa sumber utama dari sedimen (non-point sources) tersebut adalah semakin tingginya aktifitas penduduk disekitar wilayah DAS sehingga pada prinsipya bukan hanya masalah banjir yang perlu kita pikirkan tapi potensi pencemaran di wilayah pesisir juga harus mendapat perhatian serius. Dilain sisi semakin gencarnya pembangunan Kota menyebabkan daerah tangkapan air (catchment area) semakin kecil, sehingga pada saat curah hujan tinggi maka outlet sungai tidak mampu lagi mengalirkan air ke laut dan melimpah keluar alurnya dan menggenangi sebagian dataran rendah tersebut. Kondisi ini akan semakin parah manakala curah hujan yang tinggi tersebut bersamaan dengan saat air laut sedang mengalami pasang tinggi.
Mengenai pendapat beberapa pihak yang mengatakan bahwa penyebab banjir berasal dari lokasi tambang, menurut penulis perlu dikaji ulang mengingat secara geografis dan morfologi, keberadaan wilayah tambang tersebut tidak akan memberi kontribusi yang berarti terhadap terjadinya banjir di Kota Bontang. Kami tidak dalam kapasitas membela perusahaan tambang tersebut tapi lebih didasarkan pada kajian ilmiah dan fakta dilapangan.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah dalam hal ini Bappeda perlu menerapkan konsep penataan ruang DAS – Wilayah Pesisir Terpadu seperti yang sedang digagas oleh teman-teman di Dewan Pemuda Sulawesi Selatan. Konsep ini merupakan pengembagan dari konsep lama yakni konsep one river one management system.

Senin, 16 April 2012

Opini (Kaltim Pos)


PEMIMPIN LAHIR DARI SKENARIO KEKUATAN LANGIT
Oleh : Dr. Kasman eMKa



Jika Anda diperhadapkan pada opsi, ingin jadi siapa jika diberi kesempatan memilih :  jadi Soekarno, Gus Dur, Vladimir Putin, Hitler, atau lainnya? Jika Anda orang yang bijak dan mengerti hakekat hidup pastilah Anda menjawab ”saya ingin menjadi diri saya sendiri”. Mengapa? Selain karena yang demikian berada diluar kualitas kewajaran individual kita, juga perlu diingat bahwa seorang Soekarno kecil tidak pernah memplotkan diri sebelumnya untuk menjadi founding father’s negara RI. Pengangkatan Gus Dur menjadi Presiden RI pada tahun 1999 sangat fenomenal dan dianggap berada di luar logika politik para politisi saat itu, realitas ini sekaligus dianggap sebagai bentuk pembenaran dari teori politik Gus Dur yang meyakini bahwa politik merupakan sebuah ketidakpastian yang di dalamnya sarat dengan kekuatan-kekuatan gaib yang signifikan. Kemudian penunjukan Vladimir Putin secara tak terduga oleh Boris Yeltsin menjadi perdana menteri Rusia pada tahun 1999 menimbulkan kekejutan politik (political shock) yang luar biasa tidak hanya di Rusia tapi diseluruh belahan dunia saat itu, tidak kurang Majalah Mingguan News Week menulis ”Russia’s mystery Man” yang mengulas Putin sebagai sosok yang muncul dari balik kepekatan kabut..
Premis di atas menunjukkan bahwa determinasi pemimpin dan kepemimpinan didominasi oleh adanya fenomena transendental berupa representasi kekuatan langit yang terealisasi secara aksidental, sekaligus juga menunjukkan bahwa siapapun bisa jadi pemimpin selama kendali supranatural berpihak pada-nya, sehingga Anda tidak perlu memilih untuk jadi siapapun karena pamor dari tokoh-tokoh di atas mungkin saja tereliminasi oleh aurora kepemimpinan yang ”dimunculkan” pada diri Anda kelak.
Konteks ini hendaknya bisa menggugah objektifitas alam sadar seluruh komponen bangsa dalam menyikapi agenda kolosal bangsa selanjutnya, yakni pemilihan presidan dan wakil presiden 5 Juli 2004, dengan melapangkan hati menerima siapapun yang akan terpilih dalam pemilihan tersebut. Dan untuk pelaku politik hendaknya menyadari sepenuhnya bahwa perjuangan sekeras dan secerdas apapun yang ditempuh saat ini untuk mem-presiden-kan capresnya tidak lebih dari sebuah upaya mempertegas skenario dari kekuatan langit, dengan demikian pilpres yang akan datang bisa berjalan secara alami, bersih dan didasarkan pada keyakinan di atas langit ada langit.
Memilih Capres dan Cawapres
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemimpin meskipun merupakan hasil skenario yang maha adil, namun kenyataannya tidak jarang pemimpin yang keluar dari bingkai keadilan dan mengambil posisi oposisi terhadap nilai-nilai keadilan publik yang ada. Indikasi ini juga telah terdeteksi dalam proses pemilihan presiden RI yang akan datang, dimana hampir semua capres disinyalir melekat pada dirinya kekurangan demi kekurangan : Wiranto dengan kasus pelanggaran HAM-nya, Megawati dengan ketidakmampuan managerial-nya, SBY disinyalir di back up oleh Amerika, Amin Rais dengan ke-grudag-grudug-annya, Hamzah Has dengan kelemahan konseptual dan ketokohannya.
Terlepas dari benar tidaknya sinyalemen tersebut, namun kenyataan menunjukkan bahwa proses pemilihan presiden kita kali ini diawali oleh ditaburkannya genderang ketidakfairan pemain-pemain politik ditingkat elit baik langsung maupun tidak langsung dengan berupaya melakukan pembunuhan karakter (character Assasination) terhadap capres lain yang pada hakekatnya bisa menimbulkan preseden buruk bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara ke depan berupa munculnya akumulasi kejengkelan terhadap capres yang distigmatisasi tersebut. Mereka tidak sadar bahwa meskipun kekurangan capres di atas ditambah dengan segudang kekurangan dan sejuta keburukan lainnya, namun hal itu tidak akan mengurangi probablitasnya untuk terpilih menjadi pemimpin kita ke depan, karena semua itu akan kembali pada konsep yang terdefinisikan di atas.
Tulisan ini tentunya tidak bermaksud membuka wacana apatis dalam proses pemilihan presiden mendatang, tapi seyogianyalah kita menumbuhkan rasa sportifitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral dalam mencapai target politik kita, dan sadar bahwa pemimpin yang akan terpilih kelak adalah orang pilihan dari penguasa langit yang harus kita terima dengan segala kekurangannya tentunya dengan memperhatikan mekanisme demokrasi yang kita sepakati.


Pemimpin adalah representasi dari rakyatnya
            Siapapun dan bagaimanapun kelak yang akan menjadi orang nomor satu di NKRI yang kita cintai ini, maka behaviour dan karakternya tidak jauh dari karakter sebagian besar rakyat Indonesia. Jika seandainya yang terpilih kemudian adalah seorang koruptor maka itu adalah gambaran bahwa atmosfir Indonesia saat ini masih didominasi oleh polutan koruptor, jika yang terpilih adalah seorang penjahat kemanuasiaan maka  yakinlah sebagian besar dalam dada mayoritas bangsa Indonesia telah kehilangan sense of humanity-nya, dan begitu seterusnya.
Karena itu dalam hal pemilihan capres, partisipasi politik kita diharapkan akan memberikan kontribusi dalam pemetaan menuju apa yang kita yakini nilai kebenarannya dan tentunya ini hanya akan tercapai dengan bersikap objektif, dan lebih mengedepankan hati nurani ketika menjatuhkan pilihan pada salah satu calon presiden.
Pemimpin yang Ideal
            Jika kekayaan alam Indonesia diplotkan dengan aspek historis sosio-economical masyarakat Indonesia yang mencitrakan ketidakmapanan sejak jaman orde lama, orde baru kemudian orde reformasi, maka kesimpulan yang umum dan paling logis untuk dilontarkan adalah ”itu adalah implikasi komulatif dari ketidakmampuan individual pemimpin kita dalam mengelola bangsa dan negara kita selama ini”.
Kesimpulan ini tentunya tidak semua benar, namun sangat berdasar manakala kita mencermati otoritas signifikan yang dimiliki oleh seorang pemimpin dalam menentukan arah perjalanan suatu bangsa. Dengan kata lain kualitas kolektif individual seorang pemimpin merupakan parameter mutlak terwujudnya suatu bangsa yang sejahtera dan bermartabat.
Kompleksitas persoalan yang sedang melilit bangsa ini, mulai dari hutang luar negeri yang sedemikian besarnya (economical problem), disintegrasi bangsa yang senantiasa mengancam (internal security), sampai kepada martabat dan kedaulatan bangsa yang mulai dinodai (international problems), hendaknya bisa menjadi bahan renungan bagi semua elemen bangsa untuk tidak gegabah menentukan sikap khususnya dalam memilih capres mendatang, karena ini akan menyangkut kolektifitas kualitas futuristik berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini warga negara Indonesia (termasuk capres yang akan dipilih) yang keliru dalam memilih presiden mendatang berarti turut memberi kontribusi negatif terhadap kehidupan berbangsa secara keseluruhan.
Menyadari peran pemimpin yang sedemikian sentralnya, tentunya kita merindukan pemimpin yang ideal (meminjam istilah Iwan Fals : manusia setengah dewa) untuk menahkodai bangsa ini kedepan. Dalam konteks pemilihan pemimpin nasional, ada beberapa variabel mutlak yang harus dimiliki seorang  presiden mendatang : pertama, mempunyai kualitas intelektual dan wawasan yang luas. Walaupun dalam mengeluarkan kebijakan seorang presiden di bantu oleh para menteri-menterinya namun sensitifitas intelektual dan keluasan wawasannya sangat menentukan proses dan bentuk kebijakan yang akan dihasilkan. kedua, mempunyai sifat amanah dan berani. Masih gentayangannya koruptor, indikasi munculnya kembali pola militeristik, penegakan hukum yang tidak tegas, merupakan bentuk pengkhianatan terhadap agenda reformasi yang telah disepakati, karena itu kedepan kita butuh pemimpin yang berani mengemban amanah reformasi bagaimanapun berat dan tantangannya. ketiga, memiliki kesabaran yang telah teruji dan tidak banyak terlibat dalam konstalasi politik masa lalu, hal ini menjadi penting mengingat gerakan-gerakan anti kemapanan akan senantiasa  merapatkan barisan untuk menjagal agenda reformasi dengan menghalalkan segala cara, karena itu pemimpin yang akan datang harus sabar menghadapi godaan material dan siap teralienasi dari pergaulan penguasa masa lalu.
Yang jadi pertanyaan sekarang adakah diantara 5 figur di atas yang memenuhi atau minimal mendekati syarat-syarat tersebut? Jawabannya tentu sudah ada dalam hati nurani kita masing-masing!

Opini (Kaltim Pos)


OCEAN POLICY PEMERINTAH KALTIM DI ERA OTONOMI DAERAH
Oleh : Kasman eM.Ka
(Mahasiswa Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung - jurusan Oseanografi)

Ekspektasi masyarakat pesisir Kalimantan Timur untuk segera memposisikan diri secara sejajar dengan masyarakat daratan dalam konteks pencapaian kualitas hidup yang layak mulai diretas sejak diberlakukannya konsep otonomi daerah dengan diundangkannya beberapa UU yang didalamnya memuat sentimen-sentimen pembangunan kelautan diantaranya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang mengatur kewenangan provinsi dalam pengelolaan wilayah laut dalam batasan 12 mil yang diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan serta UU No. 25 Tahun 1999 tentang pembagian alokasi pendapatan antara pemerintah pusat dan daerah yang berasal dari pemanfaatan SDA termasuk sumber daya pesisir dan laut (pasal 6 ayat 5)
Harapan ini menjadi sangat wajar mengingat secara geografis luas wilayah laut Kalimantan Timur mencapai 9.800.000 Ha dengan panjang garis pantai 1.185 km yang terbentang dari Kabupaten Pasir di selatan sampai Kabupaten Nunukan di utara, laut Kaltim sebagian besar terdiri dari laut dengan kedalaman 200 – 1000 m, suatu kondisi yang sangat produktif untuk pengembangan biodiversity jika dilihat dari morfologinya. Selain itu populasi penduduk yang sebagian besar bermukim dan menggantungkan hidup dengan merambah wilayah pesisir, merupakan asset yang tak ternilai harganya.
Instrumen-instrumen ini dianggap oleh masyarakat pesisir dapat menjadi motifasi factual bagi pemerintah daerah untuk memberi perhatian yang lebih serius dalam mengkaji dan mengolah potensi kelautan daerah dengan merumuskan kebijakan kelautan (ocean policy) yang jelas dan tegas menuju terwujudnya pemerataan kesejahteraan rakyat diseluruh wilayah Kaltim, khususnya wilayah pesisir yang selama ini termarjinalkan .  
Ironisnya ekspektasi tersebut masih harus menggelantung di langit impian masyarakat marjinal ini, mengingat sector kelautan yang didefinisikan sebagai sektor perikanan, pariwisata bahari, bangunan kelautan, dan jasa kelautan dewasa ini masih ditempatkan sebagai sektor pinggiran (peripheral sector) dalam kebijakan-kebijakan makro pembangunan daerah. Adapun program prioritas pembangunan pemerintah Kaltim 2001-2005 yang diatur dalam perda program pembangunan daerah adalah : 1) Program Pengembangan  Sumber Daya Manusia (SDM), 2) Program Pengembangan Infrastruktur, 3) Program Pembangunan Pertanian
Pemandangan ini menimbulkan implikasi langsung maupun tidak langsung terhadap terciptanya kemiskinan yang akut di wilayah pesisir Kaltim, sehingga tidaklah berlebihan bila ocean policy pemerintah daerah saat ini diklaim sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap nilai kemanusiaan di mana hak-hak rakyat banyak untuk memperoleh penghidupan yang layak terabaikan.
Resistensi Pembangunan Wilayah Pesisir
Masalah yang dihadapi dalam upaya membangun wilayah pesisir senantiasa terbentur pada kebijakan kelautan (ocean policy) pemerintah dan aspek sosio-cultural yang melekat pada masyarakat itu sendiri, yang bisa diuraikan menjadi : Pertama, paradigma pembangunan pemerintah Kaltim sangat hegemonistik daratan dan menempatkan laut dalam posisi tidak populer dan termarjinalkan. Kebijakan ini disadari lebih banyak diilhami oleh euphoria terhadap potensi kekayaan alam yang melimpah dan terdistribusi dihampir seluruh  wilayah daratan Kaltim. Dalam konsep otonomi daerah jelas kebijakan ini sangat kontra produktif dan kurang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian rakyat terutama di wilayah pesisir dan sekaligus juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak mempunyai konsep pembangunan yang menyeluruh (holistic) serta kurangnya keberpihakan terhadap masyarakat marjinal.
Kedua, Selama masa pemerintahan orde baru lautan tidak pernah diikutkan dalam mainstream pembangunan baik Nasional maupun daerah, sehingga biasnya sampai sekarang, menempatkan potensi kelautan berada pada posisi bargaining yang lemah, akibatnya kajian dalam bidang kelautan sangat jarang disentuh baik oleh pembuat kebijakan (policy maker) maupun oleh para aktor gerakan masyarakat civil (seperti LSM) di daerah. Realitas ini semakin jelas terlihat pada masa kampanye Pemilihan Umum 11 Maret sampai 1 April 2004 lalu, di mana tak satupun partai peserta pemilu yang mengangkat masalah-masalah kelautan sebagai isu sentral dalam pemaparan visi dan misi partai. Ketiga, masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir memiliki karakteristik dan dinamika yang khas terutama aspek psikologis dan cultural masyarakat serta pengetahuan local (indigenous knowledge) dan tradisi-tradisi lokal, sehingga agak sulit untuk merumuskan suatu konsep baku dalam menangani masalah-masalah yang timbul.
Konsep Pembangunan Pesisir
Paling tidak ada lima materi pokok yang harus diprioritaskan dalam pengelolaan wilayah pesisir Kaltim guna mengangkat kualitas hidup masyarakat di sekitarnya : Pertama, Peningkatan SDM yang handal dan penerapan teknologi tepat guna di wilayah pesisir. Hasil penelitian mengenai identifikasi faktor-faktor yang berperan dalam pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa peningkataan SDM menyumbang sebanyak 16 %, penerapan teknologi 34 %, akumulasi capital investasi 12%, alokasi sumber daya yang efisien 11 %, skala ekonomi 11 % sisanya adalah penggunaan input secara tepat (market based approach). Peningkatan kualitas SDM untuk pembangunan wilayah pesisir dapat dicapai  diantaranya dengan : a) mengembangkan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi laut, sistem informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup wilayah pesisir  b) meningkatkan kapasitas masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan. c) memasukkan pelajaran kurikulum kelautan pada sekolah dasar sampai sekolah lanjutan atas di daerah-daerah. Kedua, Peningkatan investasi secara profesional dan selektif dibidang kelautan dengan mengidentifikasi dan menganalisis stakeholder, yaitu semua yang terlibat di dalam proses, atau permasalahan yang sudah dirumuskan batas-batasnya. Dalam tataran ini pihak yang kompeten (pemerintah) harus mampu memahami persepsi dan sistem komunikasi stakeholder dengan mempelajari kegiatan mereka dan mengamati dampak yang ditimbulkannya serta melakukan pembicaraan dengan individu-individu yang terlibat. Upaya ini dimaksudkan untuk memangkas aktifitas pemburu rente (rent-seekers) di sekitar wilayah pesisir yang senantiasa berupaya mengeksploitasi potensi kelautan secara berlebihan tanpa mengindahkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), hal ini menjadi penting dalam proses pemberdayaan potensi kelautan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat antargenerasi (intergenerational welfare).
Ketiga, Mengontrol kualitas laut dalam pengertian global. Dalam kajian teoretis (theoretical approach) eksistensi perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi di wilayah pesisir Kaltim memberi asumsi akan menimbulkan dampak serius bagi kualitas kolektif pesisir terutama terhadap lingkungan (saat ini penulis dalam proses pemodelan sebaran polutan di wilayah pesisir Kaltim). Adalah penting dipahami bahwa perusahaan yang membuang limbah ke laut baik berupa bahan kimia (chemical content, misalnya tumpahan minyak atau logam-logam berat) maupun pencemaran fisis (misalnya, buangan limbah panas) baik langsung maupun tidak langsung tanpa memperhatikan aspek lingkungan berarti pihak perusahaan harus bertanggung jawab atas kontribusinya terhadap hancurnya sendi-sendi perekonomian dan masa depan masyarakat pesisir. Dalam konteks ini control dari segenap masyarakat menjadi sangat penting disamping upaya sosialisasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut juga harus gencar disuarakan oleh pemerhati masalah laut. Keempat, Membangun sinergitas antar lembaga pemerintahan dan swasta serta organisasi kemasyarakatan yang berkonsentrasi di bidang ini dalam mewujudkan konsep kelautan yang telah menjadi konsensus bersama. Kelima, dan ini merupakan main factor dari keseluruhan langkah di atas, yaitu kemauan politik (political will) pemerintah dan legislative dalam mengelola potensi kelautan dengan membuat kebijakan kelautan (ocean policy) yang lebih proporsional.
Paradigma pembangunan yang hegemoni darat dan cenderung meninggalkan laut yang diimplementasikan oleh pemerintah Kaltim, saat ini masih mampu mengelabui wilayah sadar mayoritas masyarakat kaltim, tapi 10 – 20 tahun mendatang kelak proses pengelabuan itu akan menuai hujatan dan makian dari generasi penerus di wilayah ini, mengingat sumber daya alam yang kini dibangga-banggakan merupakan kekayaan alam yang tidak dapat diperbaharui (irrecoverable) dan akan mengalami titik kritis dan di saat itulah tingkat kesulitan hidup akan semakin terasa. Tapi, 10 – 20 tahun mendatang adalah waktu yang terlalu lama untuk menggugat dan menghujat saya! Mungkin itulah yang ada dalam benak decision maker kita saat ini, benar ngak pak!
day� ` a p2 / kungan hidup secara berkelanjutan. c) memasukkan pelajaran kurikulum kelautan pada sekolah dasar sampai sekolah lanjutan atas di daerah-daerah.
Kedua, melakukan kampanye dan promosi potensi kelautan Sulbar secara profesional dalam rangka menarik investor dengan mengidentifikasi dan menganalisis semua stakeholder yang terlibat di dalam proses, atau permasalahan yang sudah dirumuskan batasan-batasannya. Dalam tataran ini pihak yang kompeten (pemerintah) harus mampu memahami persepsi dan sistem komunikasi stakeholder dengan mempelajari kegiatan mereka dan mengamati dampak yang ditimbulkannya serta melakukan pembicaraan dengan individu-individu yang terlibat. Upaya ini dimaksudkan untuk memangkas aktifitas pemburu rente (rent-seekers) di sekitar wilayah pesisir yang senantiasa berupaya mengeksploitasi potensi kelautan secara berlebihan tanpa mengindahkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), hal ini menjadi penting dalam proses pemberdayaan potensi kelautan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat antargenerasi (intergenerational welfare).
Ketiga, mengontrol kualitas laut dengan melakukan penataan ruang laut-darat secara profesional dan terintegrasi (konsep dan strategi tata ruang laut akan diuraikan dalam tulisan tersendiri). Keempat, membangun sinergitas antar lembaga pemerintah dan swasta serta organisasi kemasyarakatan yang berkonsentrasi di bidang kelautan dalam mewujudkan konsep kelautan yang telah menjadi konsensus bersama. Kelima, dan ini merupakan faktor determinan dari keseluruhan langkah di atas, yaitu political will  pemerintah daerah dan legislatif dalam mengelola potensi kelautan dengan membuat kebijakan kelautan (ocean policy) yang lebih proporsional.

Opini (Harian Fajar)


MENGGAGAS KELAUTAN SEBAGAI MAINSTREAM PEMBANGUNAN SULAWESI BARAT
Oleh : Dr. Kasman eMKa1)
1)      Direktur Eksekutif Pusat Kajian dan Pengembangan Kemaritiman Nasional (PUSKANAL) Jakarta

6 tahun 11 bulan sudah usia Sulawesi Barat berstatus sebagai provinsi terhitung sejak disahkannya UU No. 26 Tahun 2004 tentang pembentukan Provinsi Sulawesi Barat, selama itu pula pembangunan di Sulbar mulai lebih menggeliat entah itu by design pemerintah daerah ataukah sesuatu yang absurd (hadir begitu saja). Wallahu a’lam. Namun yang pasti nilai yang ditorehkan itu akan tereduksi manakala pembangunan yang berorientasi pada karakter dan kultur masyarakat Sulawesi Barat terabaikan. Oleh karena itu pemerintah daerah perlu melakukan terobosan-terobosan pembangunan yang dapat menunjukkan jati diri daerah ini.
Langkah terobosan itu harus dimulai dengan melakukan identifikasi dan analisis potensi yang dimiliki secara komprehensif oleh pemerintah daerah dengan tetap memperhatikan aspek historis dan kultural masyarakat agar dihasilkan konsep dan srategi pembangunan yang terintegrasi dan berkesinambungan (sustainable development) menuju terciptanya masyarakat yang sejahtera dan mandiri.
Salah satu potensi terbesar yang dimiliki Provinsi Malaqbi ini adalah terbentangnya laut yang sedemikian luas dengan posisi sangat strategis -dapat menjadi interkoneksi antar provinsi di Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan- dan perairan relatif masih steril dari pencemaran. Kelautan Sulbar mengandung kekayaan alam yang melimpah, sebut saja adanya 9 blok migas di sepanjang garis pantai yang saat ini dalam tahap eksplorasi, memiliki daerah yang potensial untuk  dikembangkan menjadi kawasan wisata bahari, serta latar belakang nenek moyang Suku Mandar yang terkenal sebagai pelaut-pelaut tangguh dengan kearifan lokal yang secara alamiah menyusun struktur sosio-kultural masyarakat pesisir-nya. Berdasarkan thesa diatas, maka penulis berdasarkan kalkulasi scientific based meyakini bahwa “dengan konsep dan strategi pengelolaan potensi laut yang benar, cukuplah Sulbar berbenah diri menuju provinsi yang sejahtera
Prospek pembangunan sektor kelautan yang didefinisikan sebagai sektor perikanan, transportasi, pertambangan, pariwisata bahari, bangunan kelautan, dan jasa kelautan sebagai mainstream pembangunan Provinsi Sulawesi Barat menjadi lebih rasional terutama jika dikaitkan dengan diundangkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang mengatur kewenangan provinsi dalam pengelolaan sumber daya wilayah laut dalam batasan 12 mil yang diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan (pasal 18 ayat 4). Berdasarkan undang-undang tersebut maka panjang garis pantai Sulbar mencapai ±667 km yang terbentang dari Desa Paku Kabupaten Polewali Mandar hingga daerah Suremana Kabupaten Mamuju Utara dengan luas perairan mencapai 20.342 km2.
Premis-premis di atas diharapkan dapat memberi dorongan moral bagi pemerintah daerah untuk melakukan reposisi kelautan dalam strategi pembangunan Sulbar, sehingga dalam konteks ini kelautan tidak lagi diposisikan sebagai sektor pinggiran (peripheral sector) melainkan jadi arus utama (main sector) dalam pembangunan. Gagasan ini adalah sebuah gagasan besar dan hanya mampu dilakukan oleh pemimpin daerah yang suka berpetualang heroik karena untuk mencapai hal tersebut akan diperhadapkan pada resistensi yang besar mengingat kultur kepemimpinan kita dihampir semua level cenderung hedonistis.
Dalam tataran ini masyarakat Sulbar yang sedang diambang pemilihan langsung gubernur dan wakil gebernur berpeluang memberikan kontribusi konstruktif dengan mencermati dan memberikan dukungan politik bagi calon gubernur dan wakil gubernur yang memiliki kapabilitas dan komitmen dalam mewujudkan grand skenario ini.
Resistensi Pembangunan Wilayah Pesisir
Disadari atau tidak pembangunan di beberapa daerah termasuk Sulbar baik ditingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten selama ini telah menempatkan posisi laut sebagai sektor pinggiran (peripheral sector) dalam kebijakan-kebijakan makro pembangunan daerah. Kondisi ini dapat dilihat dari adanya politik anggaran yang tidak berpihak pada sektor kelautan, dimana untuk anggaran ke dinas-dinas kelautan sangat minim, hingga tidak mencapai 1% dari APBD. Pemerintah daerah seolah ridho melihat rakyat miskin di wilayah pesisir bertarung sendiri melawan ketidakberuntungan mereka. Implikasi dari fakta tersebut adalah terpeliharanya kemiskinan yang akut pada masyarakat pesisir yang tidak semestinya terjadi.
Paradigma pembangunan pemerintah masih menggunakan pola pendekatan lama yang cenderung kolot dimana laut tidak pernah diikutkan dalam mainstream pembangunan dan sangat hegemonistik daratan. Kolot karena pada saat yang bersamaan daerah-daerah lain justru menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui sektor kelautan dan perikanan. Salah satu fakta yang menunjukkan kondisi tersebut adalah tidak dimasukkannya Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K) dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Alih-alih memasukkan RSWP-3-K dalam RPJPD terpikir untuk menyusunnya pun sampai kini masih menjadi pertanyaaan.
Dalam konsep otonomi daerah jelas kebijakan ini sangat kontra produktif dan kurang efektif untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian rakyat terutama di wilayah pesisir dan sekaligus juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak mempunyai konsep pembangunan yang menyeluruh (holistic) serta kurangnya keberpihakan terhadap masyarakat marjinal. Pemandangan inilah yang kemudian menimbulkan stigma bahwa Ocean policy pemerintah daerah masa lalu merupakan bentuk pengingkaran jati diri daerah malaqbi sekaligus menjadi simbol kekerasan terhadap nilai kemanusiaan di mana hak-hak rakyat banyak untuk memperoleh penghidupan yang layak terabaikan.
Konsep Pengelolaan WilayahPesisir            
Paling tidak ada lima materi pokok yang harus diprioritaskan dalam pengelolaan wilayah pesisir Sulbar guna mengangkat kualitas hidup masyarakat di sekitarnya : Pertama, Peningkatan sumber daya manusia yang handal dan penerapan teknologi tepat guna di wilayah pesisir. Diakui bahwa kualitas tradisional SDM pelaut-pelaut Mandar sepanjang sejarah tidak diragukan lagi, namun dalam konteks ini kualitas yang dimaksud adalah kualitas kolektif multidimensional yang berpengaruh pada pola hidup dan tingkat kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Hasil penelitian mengenai identifikasi faktor-faktor yang berperan dalam pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa peningkataan SDM menyumbang sebanyak 16 %, penerapan teknologi 34 %, akumulasi capital investasi 12 %, alokasi sumber daya yang efisien 11 %, skala ekonomi 11 % sisanya adalah penggunaan input secara tepat (market based approach). Peningkatan kualitas SDM untuk pembangunan wilayah pesisir dapat dicapai diantaranya dengan : a) mengembangkan kapasitas aparat pemerintah daerah dalam mengelola potensi laut, sistem informasi sumber daya alam dan lingkungan hidup wilayah pesisir. b) meningkatkan kapasitas masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan. c) memasukkan pelajaran kurikulum kelautan pada sekolah dasar sampai sekolah lanjutan atas di daerah-daerah.
Kedua, melakukan kampanye dan promosi potensi kelautan Sulbar secara profesional dalam rangka menarik investor dengan mengidentifikasi dan menganalisis semua stakeholder yang terlibat di dalam proses, atau permasalahan yang sudah dirumuskan batasan-batasannya. Dalam tataran ini pihak yang kompeten (pemerintah) harus mampu memahami persepsi dan sistem komunikasi stakeholder dengan mempelajari kegiatan mereka dan mengamati dampak yang ditimbulkannya serta melakukan pembicaraan dengan individu-individu yang terlibat. Upaya ini dimaksudkan untuk memangkas aktifitas pemburu rente (rent-seekers) di sekitar wilayah pesisir yang senantiasa berupaya mengeksploitasi potensi kelautan secara berlebihan tanpa mengindahkan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development), hal ini menjadi penting dalam proses pemberdayaan potensi kelautan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat antargenerasi (intergenerational welfare).
Ketiga, mengontrol kualitas laut dengan melakukan penataan ruang laut-darat secara profesional dan terintegrasi (konsep dan strategi tata ruang laut akan diuraikan dalam tulisan tersendiri). Keempat, membangun sinergitas antar lembaga pemerintah dan swasta serta organisasi kemasyarakatan yang berkonsentrasi di bidang kelautan dalam mewujudkan konsep kelautan yang telah menjadi konsensus bersama. Kelima, dan ini merupakan faktor determinan dari keseluruhan langkah di atas, yaitu political will  pemerintah daerah dan legislatif dalam mengelola potensi kelautan dengan membuat kebijakan kelautan (ocean policy) yang lebih proporsional.

Susunan Pengurus


Lampiran Surat Keputusan No. IST/PUSKANAL/I/2012 Pusat Kajian dan Pengembangan Kemaritiman Nasional tentang Susunan Pengurus Pusat Kajian dan Pengembangan Kemaritiman Nasional Periode 2012 - 2015


Dewan Pembina
Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin
                       

Dewan Pakar            
Dr. Ir. Andi Irwan Nur, M.E.S
Dr. Ir. Sadikin Amir, SP
Dr. Hamzah Tahang, S.Pi, M.Si
Dr. Alimuddin Laapo, SP, M.Si
Dr. Ir. David Hermawan, M.Si
Dr. Abdul Rauf, S.Pi, M.Si
Dafiuddin Salim, S.Kel, M.Si

Dewan Eksekutif
Direktur Eksekutif      :  Dr. Kasman eMKa, S.Si, M.Si
Sekretaris Eksekutif   :  Ir. Achmad Huzairin, M.Si
Manajer Keuangan     : Dr(Cand). Yar Johan, S.Pi, M.Si

Program :
Analisis Kebijakan Kemaritiman Nasional
Manajer                      :  Mujio Sukir, S.Pi, M.Si
Anggota                      :  Akbar Hamzah, SKM, MM
                                     Mercy Patanda, S.Si, M.Si

Penelitian dan Pengembangan Kemaritiman Nasional
Manajer                      :  Akhmad Mansyur, SP, M.Si
Anggota                      :  Novit Rikardi, S.Pi
                                      Ir. Ade Ibrahim, MT

Pengembangan Kapasitas Sumberdaya Manusia dan Kelembagaan
Manajer                      :  Dr. Taufik Hasbullah, MM
Anggota                      :  Sahnul S Titaheluw, S.Kel, M.Si
                                      S. Hasan